Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Singgah memanggil Pertemuan

Seperti kita semua, kita punya asa yang tinggi asa untuk berbuat dan asa yang menjadi.. 

dalam keheningan malam, setitik cahaya bersinar di awan, benar itu adalah bintang, sinarnya mempercantik semesta, kadang kita berpikir indah dan senang bisa singgah di bintang yang indah itu, indah rasanya terbang ke langit bebas, tanpa ada ikatan, mencari manusia terbaik yang pernah di ciptakan, bercerita suka dan duka, bertawa dan bersedu sedan..

ini adalah kisah yang tergerak dari hati terdalam karena sesadar diri ini yakin tanggal yang terus berganti, tapi diri belum merona ketepian mimpi
saya sekarang berjalan, berjalan dan berkelana seluas-luasnya
dan ini singgahan saya ..

saya pernah singgah bagaimana pun juga pernah, pun kini saya berada dalam singgahan agung nuansa islam bingkai masjid kampus, dan saya berpikir saya tidak akan lama lagi membersamai ini semua, saya akan melanjutkan kelana-an ini, singgah ini tak boleh lama, ya tak boleh lama..

Pertemuan saya akan saya lanjutkan sebentar lagi dengan orang yang berwarna-warni, dengan cita dan rasa nya , saya yakin bahwa saya bisa..

sekali lagi saya masih memandang ke atas awan, bintang masih indah

Ya Rabb, saya ingin singgah di belahan bumi sana, Wagenigen Holand University, masih dalam sadaran logika, bismillah semoga mimpi yang sadar ini membawa arti dan merosonansi segala asa…semua ini untuk yang ada di tepian sana,

Lihatlah, air mata ini mengalir, hanya untuk mu kekasihku.. untuk yang berada di ujung sana, yang sedang menunggu saya….(Mozard, Die Zauberflote), karena bayangan ini indah satu saat nanti, bayangan ini akan meperjelas betapa kuasa Tuhan.. Tetap bersyukur dan berusaha sekuat-kuatnya..

Dan aku tetap bersujud di mihrabMu…

Buitenzorg, 30 januari 2011
akhir van benjamin

http://www.islamedia.web.id/2012/02/singgah-memanggil-pertemuan.html
Lengkapnya Klik DISINI

Katakan Tidak Untuk Gosip

Oleh: Ferawati

Di gosok makin sip, itulah gosip. Sepertinya gosip sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat kita. Mengetahui keburukan orang lain adalah sudah menjadi trend, sehingga saat di manapun dan sedang melakukan kegiatan apapun rasanya tidak afdhal jika tidak dibumbui dengan gosip. Gosip atau buah bibir atau desas desus adalah selenting berita yang tersebar luas dan sekaligus menjadi rahasia umum di publik yang kebenarannya diragukan atau merupakan berita negatif. Gosip identik dengan ibu-ibu atau kaum wanita, tetapi ternyata banyak juga kaum laki-laki yang menyukai gosip. Gosip biasanya menyebar dari mulut ke mulut.

Bigos alias biang gosip adalah sebutan untuk mereka yang suka bergosip atau memperbincangkan orang lain. Bisa dipastikan Anda tidak akan mendapatkan manfaat apapun ketika Anda mengetahui keburukan orang lain. Anda tidak akan mendapatkan hadiah tetapi Anda justru akan mendapatkan image/pandangan tidak baik dari lingkungan sekitar Anda. Untuk masalah dosa atau pahala itu urusan Tuhan, tetapi menurut hemat saya semua agama pasti mengajarkan kebaikan dan tidak membenarkan ketika seseorang memperbincangkan keburukan orang lain.

Saat bergosip, biasanya dilakukan dengan semangat dan menggebu-gebu, merasa dirinya paling benar, manusia paling suci, tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Ibarat peribahasa “Semut yang jauh di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuk mata tidak tampak”. Tapi pernahkah kita memikirkan apa akibatnya untuk orang yang sedang kita gosipkan? Pernahkah kita sedikit saja memikirkan perasaannya dan juga keluarganya. Dan bagaimana jika yang digosipkan itu adalah kita? Jika kita mengetahuinya, mungkin sedih, kecewa, marah, sakit hati, dan lain-lain. Ketahuilah seperti itu juga yang dirasakan oleh orang yang sedang kita bicarakan itu. Gosip yang berlebihan bisa menimbulkan efek negatif seperti, timbulnya fitnah, pertengkaran, putusnya silaturahim, dendam dan bahkan pembunuhan.

Jika Anda termasuk orang-orang yang tidak suka gosip, pertahankan! Bagaimana cara menghindari gosip? Ini jawabnya:
  1. Tanamkan dalam diri kita bahwa kita tidak akan mendapatkan manfaat apapun dengan Anda mengetahui keburukan orang lain
  2. Pandai-pandailah membuat analogi. Jika yang dibicarakan itu adalah kita, bagaimana perasaan kita? Seperti itu juga perasaan orang yang sedang kita perbincangkan. Kemudian ingatlah juga, bagaimana perasaan orang tuanya terutama ibunya saat mengetahui anaknya menjadi buah bibir.
  3. Ingatlah Tuhan maha mendengar dan maha mengetahui apa yang dilakukannya oleh hambanya, dan balasan Tuhan itu pasti ada dan juga adil
  4. Saat pembicaraan kita sudah mulai mengarah ke gosip, segeralah putar arah ganti topik pembicaraan kita
  5. Jika kita bertemu dengan orang-orang yang kita anggap para bigos, sebisa mungkin hindari, tetapi tetap dengan menjaga hubungan baik dengan mereka. Cari celah untuk memasukkan nilai-nilai positif kepada mereka.
  6. Bergosip termasuk salah satu penyakit hati, jadi rajin-rajinlah beribadah agar penyakit hati tersebut tidak menjangkiti kita
  7. Gosip bisa menyebabkan retak dan hancurnya suatu hubungan
SO… KATAKAN TIDAK UNTUK GOSIP, semoga bermanfaat.
Lengkapnya Klik DISINI

Pakaian Bernama Malu

Oleh Asma Nadia

“Bunda senang kalau Adam nggak pemalu?“ Pertanyaan yang disampaikan dengan sorot mata jernih dari bungsu saya, seharusnya mudah saja dijawab. Saking mudahnya barisan kalimat bahkan telah menarinari di ujung lidah. Tetapi, satu pikiran memaksa saya memberi jeda sebelum membuka mulut.

Benarkah saya senang jika anak-anak tidak menjadi seorang pemalu? Secara umum ya.

Saya rasa akan memudahkan orang tua jika ananda mudah bergaul, tidak bersembunyi di balik tubuh orang tua, saat teman-teman lain bermain bersama. Atau berlomba-lomba mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan guru di kelas. Tetapi, sebuah hadis membuat persoalan malu ini menjadi tidak sesederhana itu.

Sebab, memiliki rasa malu juga merupakan pesan dari nabi-nabi terdahulu sampai yang terakhir. Dalam skala yang lain, malu bisa jadi merupakan satu kata kunci yang bisa membuat setiap bangsa menjadi besar dan maju. Dan, saya kira si bungsu harus tahu tentang ini. Saya pandang matanya saat mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari.

Hadis tersebut berbunyi, “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu, perbuatlah apa yang engkau suka.“ Sedangkan, kakaknya yang baru saja bergabung dalam diskusi kecil kami, tampak merenung. Si bungsu saya terlihat bingung mendengar kutipan di atas sehingga saya harus memberikan tambahan penjelasan.

Rasa malu adalah sesuatu yang harus dilekatkan dalam diri jika itu bisa menjadi tameng dari keinginan berbuat buruk. Jika punya rasa malu, tidak mungkin sebuah lembaga tinggi negara merenovasi bagian dalam gedung seluas sekitar 100 meter persegi dengan biaya Rp 20 miliar dan menganggarkan dana Rp 24 juta hanya untuk sebuah kursi.

Jika masih terselip rasa malu, tidak mungkin terjadi seorang yang bersalah diberikan hadiah kebebasan dan seorang yang tidak bersalah dijatuhkan vonis hukuman. Jika malu masih menyatu dengan diri, tidak akan ada petugas yang dengan sukacita memungut uang yang dilempar sopir bus atau truk dari kendaraannya.

Dan, jika malu masih menjadi pakaian diri, mustahil ada tokoh agama yang memilih dan memutuskan mana yang hak dan mana yang batil semata-mata berdasarkan pesanan atau mengenyahkan rasa malu sebab takut pada hal-hal yang bersifat duniawi. Lalu, apa artinya rasa malu dalam keluarga?

Jika ada rasa malu, tidak mungkin seorang ayah berlama-lama menganggur di rumah, membiarkan ekonomi keluarga tertumpu di pundak istri, atau lebih parah lagi mengandalkan anak belasan tahun yang terpaksa berhenti sekolah demi menopang kehidupan keluarga.

Jika rasa malu terlekat kuat, tidak akan ada ayah yang tega menghabiskan uang untuk merokok ketika keperluan sekolah anak-anak dan kebutuhan lain keluarga masih tak bisa ia penuhi. Rasa malu juga yang akan mencegah seorang bunda untuk sibuk dengan ponsel, chatting, bermain Facebook atau Twitter, ketika ananda di dekatnya kebingungan mengerjakan pekerjaan rumah.

Pun, rasa malu yang membuat orang berpikir ulang bergonta-ganti gadget, ponsel, mobil, dan pameran kemewahan lainnya, sementara di sekitar mereka berseliweran kemiskinan dalam berbagai rupa. “Tetapi, bukannya nggak boleh jadi anak pemalu, Bunda?“ Telah beberapa jam lewat dari pertanyaannya yang pertama. Di dekatnya, si kakak tampak menggaruk-garuk kepala yang mungkin tidak gatal.

Tidak ada kata malu dalam jalan kebaikan. Tidak ada malu yang boleh dibiarkan hingga seseorang kehilangan banyak kesempatan memberi manfaat lebih besar bagi orang lain. Tetapi, dengan rasa malu, seseorang akan berhenti sebelum melakukan keburukan sekalipun belum ada hukum negara yang dilanggar.

Sebaliknya, seseorang akan terdorong untuk melakukan banyak kebaikan meskipun tidak ada yang memberikan instruksi. Sebab, malu adalah ajaran para nabi. Sebab, malu merupakan sebagian dari iman yang harus abadi di dalam dada. Dan percayalah, jika pakaian bernama malu masih kita kenakan, kita akan lebih sering menudingkan telunjuk ke diri sendiri ketimbang kepada orang lain.***



*)REPUBLIKA (Resonansi, Sabtu 04/02/12)
Lengkapnya Klik DISINI

Fitnah Dunia


3
email
عن عَمْرو بْنَ عَوْفٍ الأنصاري رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى الْبَحْرَيْنِ يَأْتِي بِجِزْيَتِهَا فَقَدِمَ بِمَالٍ مِنَ الْبَحْرَيْنِ فَسَمِعَتِ الْأَنْصَارُ بِقُدُومِ أَبِي عُبَيْدَةَ فَوَافَوْا صَلَاةَ الْفَجْرِ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفَ تَعَرَّضُوا لَهُ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَآهُمْ ثُمَّ قَالَ أَظُنُّكُمْ سَمِعْتُمْ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَدِمَ بِشَيْءٍ قَالُوا أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَأَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا مَا يَسُرُّكُمْ فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

Dari Amru bin Auf al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW mengutus Abu Ubaidah bin al-Jarrah ke al-Bahrain untuk mengambil jizyahnya. Kemudian Abu Ubaidah datang dari Bahrain dengan membawa harta dan orang-orang Anshar mendengar kedatangan Abu Ubaidah. Mereka berkumpul untuk shalat Subuh dengan Nabi SAW tatkala selesai dan hendak pergi mereka mendatangi Rasul SAW, dan beliau tersenyum ketika melihat mereka kemudian bersabda:”Saya yakin kalian mendengar bahwa Abu Ubaidah datang dari Bahrain dengan membawa sesuatu?” Mereka menjawab:”Betul wahai Rasulullah”. Rasul SAW bersabda:” Berikanlah kabar gembira dan harapan apa yang menyenangkan kalian, demi Allah bukanlah kefakiran yang paling aku takutkan padamu tetapi aku takut dibukanya dunia untukmu sebagaimana telah dibuka bagi orang-orang sebelummu dan kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan akan menghancurkanmu sebagaimana telah menghancurkan mereka” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: ”Celakalah hamba dinar (emas), dirham (perak), pakaian dan pakaian sutra. Jika diberi ia suka dan jika tidak ia tidak suka” (HR Bukhari). Dalam riwayat Bukhari yang lain:” Jika diberi ia suka dan jika tidak ia murka, celakalah dan semoga celaka dan jika terkena duri tidak ada yang mengeluarkannya. Berbahagialah bagi seorang hamba Allah yang mengambil kendali kudanya di jalan Allah kepalanya acak-acakan dan kakinya berdebu, jika ia disuruh berjaga maka berjaga dan jika disuruh di depan maka ia di depan. Jika ia minta izin tidak diizinkan dan jika minta pesan tidak dikabulkan”

Dari Abu Said Al-Khudri RA dari Nabi SAW bersabda:”Sesungguhnya dunia itu manis dan lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israel disebabkan wanita” (HR Muslim)

Harta dengan segala macamnya pada dasarnya adalah kenikmatan yang diberikan Allah swt kepada hambanya. Dan manusia harus menjadikannya sebagai sarana ibadah dalam hidupnya. Tetapi yang sering terjadi dan menimpa manusia ialah bahwa harta berubah menjadi fitnah dan bencana yang merugikan dirinya di dunia maupun akhirat. Sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an yang artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar” (At-Taghaabun 14-15).

Allah SWT berfirman yang artinya:
”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (At-Takaatsur 1-8)

Manusia yang mestinya menjadikan harta sebagai sarana tetapi mereka menjadikan nya tujuan hidup bahkan banyak yang menghambakan hidupnya pada harta. Sehingga celakalah mereka. Oleh karenanya agar manusia tidak terfitnah dengan harta dan tidak jatuh pada fitnahnya hendaknya mereka mengetahui beberapa hal berikut:

1. Hakikat Harta dan Dunia
a. Dunia adalah permainan dan senda gurau. Allah SWT berfirman yang artinya:
”Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” (QS Al-Ankabuut 64).

b. Kesenangan yang menipu. Allah SWT berfirman yang artinya:
”Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (QS Ali Imran 185).

c. Kesenangan yang terbatas dan sementara, Firman-Nya;
“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya” (QS Ali Imran 196-197)

d. Jalan atau jembatan menuju akhirat, Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir” (HR Bukhari dari Ibnu Umar). Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah menambahkan: “Posisikan dirimu bahwa engkau termasuk ahli kubur”.

2. Mengetahui Kedudukan Manusia
Manusia diciptakan Allah sebagai pemimpin yang harus memakmurkan bumi. Maka mereka harus menguasai dunia atau harta bukan dikuasai oleh harta. Sebagaimana doa yang diungkapkan oleh Abu Bakar RA: ”Ya Allah jadikanlah dunia di tanganku bukan masuk ke dalam hatiku”. Kedudukan manusia lebih mulia dari dunia dan seisinya maka jangan sampai diperbudak oleh dunia atau harta benda. Manusia memang harus memakmurkan dunia tetapi jangan sampai hal itu melalaikan dirinya dari visi dan misi mereka.

3. Mengetahui bahwa segala yang dimiliki manusia berupa harta kekayaan akan dihisab. Manusia harus mengetahui dan sadar bahwa kekayaan yang mereka miliki akan diperhitungkan di akhirat kelak. Bahkan semua yang dimiliki dan dinikmati manusia baik kecil maupun besar akan dicatat dan dipertanggungjawabkannya. Oleh karenanya mereka harus berhati-hati dalam mencari harta kekayaan dan dalam membelanjakannya. Jangan sampai mencarinya dengan cara yang diharamkan Allah dan membelanjakannya pada sesuatu yang diharamkan Allah. Lebih jauh lagi manusia harus menjauhkan diri dari diperbudak oleh harta.

4. Sadar bahwa kenikmatan di akhirat jauh lebih nikmat dan abadi. Seluruh bentuk kenikmatan Allah yang diberikan hamba-Nya di dunia hanyalah sebagian kecil saja. Rasulullah saw bersabda yang artinya: Artinya: Dari Abu Hurairah RA berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
”Allah menjadikan rahmat 100 bagian, 99 bagian Allah tahan dan Allah turunkan ke bumi satu bagian. Satu bagian itulah yang menyebabkan sesama makhluk saling menyayangi sampai kuda mengangkat telapak kakinya dari anaknya khawatir mengenainya” (Muttafaqun ‘alaihi).

Begitulah, kenikmatan paling nikmat yang Allah berikan di dunia hanyalah satu bagian saja dari rahmat Allah swt sedangkan sisanya Allah tahan dan hanya akan diberikan kepada orang-orang beriman di surga. Oleh karena itu dalam kesempatan lain Rasulullah saw bersabda tentang dunia bagi orang beriman yang artinya: Dari Abu Hurairah RA berkata:
“Rasulullah SAW bersabda: “Dunia adalah penjara bagi mukmin dan surga bagi orang kafir” (HR Muslim).

Bahkan Rasulullah SAW suatu saat dalam perjalanan bersama sahabat dan melewati pasar, di sana ada seekor kambing yang mati dan cacat. Maka Rasulullah saw memegang telinganya dan berkata: “Siapakah yang mau membeli kambing ini satu dirham?” Sahabat berkata: “Kami tidak suka sedikit pun, dan untuk apa kambing itu?” Rasul saw melanjutkan: “Maukah ini untukmu?” Sahabat menjawab: “Demi Allah jika masih hidup kambing ini cacat, apalagi kambing sudah jadi bangkai!” Maka Rasulullah bersabda: “Demi Allah dunia untukmu lebih hina dari kambing ini di hadapan Allah”. Allah SWT berfirman yang artinya:

“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir” (QS At-Taubah 55)

Begitulah karakteristik dunia yang dicari-cari manusia, apakah mereka tetap tidak sadar!

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/01/17994/fitnah-dunia/#ixzz1lwo3PPmy
Lengkapnya Klik DISINI

Muhammad SAW: Negarawan Teragung Sepanjang Masa

"Ia satu-satunya orang yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa, baik dalam hal agama maupun duniawi," -Michael H Hart-

12 Rabiul Awal merupakan tanggal yang penting bagi umat Islam di seantero dunia. Pada tanggal itulah, manusia termulia dan teragung sepanjang masa terlahir ke muka bumi. Manusia terhebat itu bernama Muhammad SAW – utusan Allah SWT – yang membawa ajaran Islam.

Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford, Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul Allah yang telah membangkitkan salah satu peradaban besar di dunia. Tak heran jika Michael H Hart, dalam bukunya The 100, menetapkan Muhammad SAW sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia.

‘’Ia satu-satunya orang yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa, baik dalam hal agama maupun duniawi,’’ ujar Hart. Muhammad SAW tak hanya dikenal sebagai pemimpin umat Islam, beliau juga dikenal sebagai seorang negarawan teragung, hakim teradil, pedagang terjujur, pemimpin militer terhebat dan pejuang kemanusiaan tergigih.

Rasulullah SAW terbukti telah mampu memimpin sebuah bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa yang maju yang bahkan sanggup menggalahkan bangsa-bangsa lain di dunia pada masa itu. Afzalur Rahman dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai Negarawan, mengungkapkan, dalam tempo kurang lebih satu dekade, Muhammad SAW berhasil meraih berbagai prestasi yang tak mampu disamai pemimpin negara mana pun.

***

Sebagai seorang penguasa, Muhammad SAW telah memberi sumbangan luar biasa terhadap bangunan filsafat politik dan praktik pemerintahan. Kontribusinya ini menjadi saksi hidup yang membuktikan kebesarannya sebagai negarawan yang jenius dengan kecakapan yang luar biasa.

Kualitas kepemimpinan Muhammad terlihat sejak belia, sebelum menjadi nabi. Sikap dan perilakunya yang jujur dan adil dalam berinteraksi membuat penduduk Makkah menghormatinya. Masyarakat Makkah pun menyebutnya sebagai Al-Amin (orang yang terpercaya) dan Shadiq (orang yang benar).

Di usia belia, Muhammad SAW mampu menyelesaikan perselisihan di antara suku-suku Quraisy terkait dengan masalah pengembalian Hajar Aswad ke tempatnya semula. Di tengah perdebatan yang alot, Muhammad mengambil keputusan yang sangat cerdik untuk menyelesaikan situasi pelik itu.

Beliau menghamparkan jubah di atas tanah dan meminta agar Hajar Aswad diletakkan di tengah-tengah hamparan jubah itu. Beliau kemudian meminta masing-masing suku memegang ujung jubah itu dan bersama-sama mengangkat Hajar Aswad dan meletakkannya kembali ke tempat semula. Persengketaan pun diselesaikan secara damai.

***

Kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai seorang kepala negara dimulai ketika kaum Muslim hijrah dari Makkah ke Madinah. Di kota suci kedua bagi umat Islam itulah, komunitas kecil kaum Muslim di bawah kepemimpinan Muhammad SAW berhimpun.

Pada masa-masa awal kehidupan di Madinah, Rasulullah SAW dihadapkan pada situasi sulit. Kaum muhajirin hidup miskin, tidak berdaya, dan tidak mempunyai berbagai sarana kehidupan. Sementara itu, kaum Quraisy Makkah mengancam untuk menyerang Madinah, menghancurkan komunitas Muslim yang masih kecil.

Kaum Yahudi-Madinah juga bersekongkol dengan orang-orang musyrik Makkah untuk memusuhi kaum Muslim. Tak hanya itu, sejumlah suku Arab di sekitar Madinah juga menunjukkan sikap permusuhan terhadap keyakinan baru ini, dan pada saat yang bersamaan mulai berkembang kelompok munafik di antara kaum Muslim Madinah sendiri

Siapa pun, yang kuat dan kaya sekalipun, pasti kewalahan menghadapi tekanan dan beban ini. Namun, Muhammad dapat menyelesaikan situasi sulit dan tak terduga ini dengan efektif dan berhasil. Ini membuktikan kenegarawanan dan kecakapannya dalam bidang politik.

***

Menghadapi kenyataan yang sangat sulit itu, Muhammad SAW mengambil serangkaian langkah untuk mengukuhkan Negara Islam yang baru didirikan itu secara sosial, politik dan ekonomi. Ia mampu menegakkan otoritas politik dan memelihara hukum serta ketertiban di seluruh wilayah suku-suku di dalam dan di sekitar Madinah.

Lalu, Muhammad membuat berbagai perjanjian dengan kepala-kepala suku Arab dan suku-suku Yahudi di sekitar Madinah. Melalui serangkaian langkah itulah Nabi Muhammad mampu membawa Negara Islam Madinah sebagai sebuah negara yang aktif memainkan berbagai peran politik di seluruh penjuru wilayah.

Marshal G Hodgson dalam tulisannya yang bertajuk The Venture of Islam, mengungkapkan, "Masyarakat Muhammad terdiri dari kaum Muslim dan non-Muslim dalam berbagai ragam derajat keanggotaan."

Sejak saat itu, tulis Hodgson, komunitas itu tak lagi sekadar sebuah suku baru yang terdiri dari orang-orang beriman atau bahkan sekedar perkumpulan revolusioner lokal. ‘’Masyarakatnya terdiri dari berbagai unsur heterogen yang diorganisasi secara lebih baik dibandingkan sistem organisasi masyarakat Makkah, baik secara religius maupun politik,’’ papar Hodgson.

***

Struktur politik yang dibangun Muhammad, papar Hodgson, merupakan bangunan yang kini dikenal dengan sebutan negara, seperti negara-negara lain yang ada di sekeliling Jazirah Arab, lengkap dengan otoritas tata pemerintahan yang berdasarkan aturan hukum.

Untuk menjalankan roda pemerintahannya, ungkap Hodgson, Muhammad mengirim sejumlah utusan yang bertugas mengajarkan Alquran dan prinsip-prinsip Islam, mengumpulkan zakat, dan menengahi berbagai perselisihan demi menjaga perdamaian dan mencegah permusuhan.

Sehingga, kaum Muslim Madinah melahirkan dan menciptakan suatu jalan hidup yang adil dan bernilai ketuhanan di seluruh wilayah Hijaz, bahkan juga pada wilayah-wilayah di luarnya.


*)REPUBLIKA
Lengkapnya Klik DISINI

Manajemen Cemburu

Penulis: Dr. Setiawan Budi Utomo

Allah Swt. berfirman: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari simpati istri-istrimu Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim:1)

Belakangan ini semakin banyak kaum ibu baik kalangan umum maupun kalangan aktivis atau istri aktivis dakwah (ummahat) yang sedang dihinggapai rasa was-was dan ada sebagian yang semakin panas dibakar api cemburu pada sang suami gara-gara banyak kalangan bapak-bapak aktivis (abi-abi) yang getol melontarkan isu ta’addud yang sebenarnya bukan sekadar bahan pembicaraan, namun secara riil telah menjadi semacam teror, monster maupun momok bagi kaum ibu meskipun hal itu di pikiran para suami mungkin sekadar intermezzo, canda, iseng, cerita lepas tetapi memang tidak dipungkiri ada sebagian mereka yang sengaja menggencarkan isu tersebut sebagai upaya sistemik bagi semacam ‘pemanasan’, mukadimah, ‘conditioning’ (pengkondisian) ataupun apalah namanya yang penting istri mereka terbiasa mendengar wacana ataupun fenomena itu dengan harapan lama-lama kebal dan biasa sehingga bila tiba saatnya terjadi kenyataan dialami suami mereka tidak kaget ataupun protes lagi, hanya sekadar memaklumi saja.

Keresahan dan kecemburuan kalangan ummahat tersebut tidak jarang juga dipicu dan ‘dikomporin’ oleh cerita yang bersumber dari suami mereka, berita media massa ataupun kabar burung, gosip dan rumpian para ummahat bahwa suami si anu nikah lagi, si aktivis anu sedang dalam proses ta’addud. Api kecemburuan tersebut semakin berkobar dan kewaspadaan ditingkatkan menjadi waspada satu atau situasi stadium gawat darurat karena semakin hari semakin bertambah panjang deretan koleksi nama-nama keluarga yang memekar menjadi berbilang. Alasan mereka sih sah-sah saja kan diperbolehkan syariah terlepas dari tepat tidaknya untuk kondisi mereka. ‘Nikah lagi, siapa takut’ demikian seloroh sementara ikhwan dan dibalas sang istri sambil tersungut; “gi, sono deh…! siapa takut! Satu aja nggak keurus dengan adil!” Dan saya sedang tidak ingin membahas masalah ta’addud yang kontroversial ini, melainkan saya ingin mengkaji fenomena lain seputar cinta dan pernikahan yakni kecemburuan atau rasa cemburu.

Kecemburuan yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai ghoirah dan dalam bahasa Inggris disebut jealousy merupakan gejala fitrah, wajar dan alamiah dari seseorang sebagai rasa cinta, sayang dan saling memiliki, melindungi (proteksi) dan peduli. Namun pada kenyataan keseharian rasa, cemburu tidak jarang mendapatkan stigma dan konotasi yang selalu negatif sebagai bentuk ekspresi dan refleksi yang tidak pada tempatnya, norak, egois, curiga dan sebagainya. Memang pada umumnya, akan terasa menyesakkan dan hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan bila seorang wanita selalu dibayangi perasaan cemburu. Seorang wanita bijak pernah berkata, “Aku pernah mendapati seorang teman yang begitu menderita, banyak mengeluh, pencemburu, karena suaminya sering bepergian. Ia juga merasa cemburu ketika suaminya membuat janji dengan rekan kerja, sedang menelpon atau sedang menulis surat, atau bahkan ketika sedang termangu dan tersenyum malu. Ia merasa yakin bahwa dalam pikiran suaminya pada saat itu terdapat wanita lain.”

Kondisi pikiran dan kejiwaan seperti ini timbul dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Secara internal mungkin karena ia tidak mampu mengendalikan kecemburuan dan potensi kewaspadaannya dengan bijaksana sehingga kehilangan kepercayaan pada suaminya dengan merugikan dirinya sendiri berdasarkan sesuatu indikasi sumir yang belum jelas masalahnya. Adapun secara eksternal memang tidak menutup kemungkinan ada banyak indikasi yang mengarah kepada kelayakan suami untuk dicemburui, dicurigai ataupun diwaspadai seperti penampilan genit, mata keranjang maupun ‘gatelan’.

Meskipun demikian, rasa cemburu sebenarnya tidak hanya dihinggapi kaum wanita saja melainkan juga kaum pria. Kalau ada sebutan istri pencemburu yang sering mengganggu keleluasaan ruang gerak suami, juga ada istilah suami cemburuan yang jealous melihat kemajuan istri yang positif ataupun terhadap perangainya yang di matanya selalu mencurigakan. Semuanya itu yang ideal memang seharusnya ditepis dengan cara mencegah rasa cemburu untuk berubah menjadi duri dalam daging, pasir dalam pikiran bayangan hitam yang menyelimuti perasaan maupun dengan cara klarifikasi (tabayyun), koreksi (tanashuh), maupun introspeksi (muhasabah) secara lapang dada, kepala dingin dan pikiran jernih sebelum segalanya terjadi. 

Sebab, jika tidak maka keadaan rumah tangga akan menjadi semakin genting, kritis, parah dan susah mengobatinya yang berakibat pada kesengsaraan. Bukankah Allah telah berpesan dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim:6)

Dalam hal manajemen kecemburuan ini agar tidak menyengsarakan semuanya, Imam Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin (hal.241-242) menganjurkan para wanita muslimah untuk meniru karakteristik bidadari surga yang berhati suci sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya: “dan untuk mereka di dalamnya terdapat isteri-isteri yang suci.” (QS. Al Baqarah:25). Yaitu dengan membangun kejiwaan yang bersih dari perasaan cemburu yang tidak pada tempatnya, sikap kepribadian yang menyakiti hati suami, dan menjauhkan dari benak mereka untuk memikirkan pria lain selain suami mereka.

Namun begitu, sebenarnya tidak semua cemburu itu membawa kesengsaraan dan tidak terpuji. Sebab rasa cemburu merupakan suatu potensi kejiwaan yang bila dipakai dan dikelola pada tempatnya secara wajar justru akan menjadi kontrol positif dan bukan menjadi sikap negatif yang kontra produktif. Imam Al Munawi dalam kitab Al-Faidh justru menyatakan bahwa wanita yang paling mulia dan yang paling luhur cita-citanya adalah mereka yang paling pencemburu pada tempatnya. Maka sifat seorang beriman yang cemburu (ghoyyur) pada tempatnya adalah sesuai dengan sifat yang dimiliki oleh Rabbnya. Siapa yang mempunyai sifat menyerupai sifat-sifat Allah, maka sifat tersebut berada dalam perlindungan-Nya dan mendekatkan diri seorang hamba kepada rahmat-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah itu memiliki sifat cemburu dan orang-orang beriman juga memilikinya. Adapun rasa cemburu Allah ialah ketika melihat seorang hamba yang mengaku dirinya beriman kepada-Nya melakukan sesuatu yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Nasa’i).

Kehilangan rasa cemburu dan tumbuhnya sikap ketidakpedulian pada pasangan hidup dan keluarga baik para istri maupun suami dengan membiarkan penampilan, perilaku dan aktivitas keluarga mereka tanpa kontrol (muraqabah) dengan dalih saling percaya meskipun realitas di depan mata mengundang fitnah dan membawa indikasi negatif akan membuka peluang bagi penodaan kehormatan dan citra keluarga sangat dibenci dalam Islam yang mana Nabi melaknat perangai dayyuts yakni kehilangan rasa cemburu pada keluarga agar tidak jatuh kepada kemaksiatan. Beliau juga bersabda: “Orang-orang mukmin itu pencemburu dan Allah lebih pencemburu.” (HR. Muslim). Cemburu dalam arti yang positif di sini harus didasari cinta (mahabbah) karena Allah, bukan karena emosi hawa nafsu dan egoisme agar keluarga terselamatkan dari api neraka. Saad bin ‘Ubadah berkata: “Dengan cinta itu pula sebuah kebahagiaan hidup seseorang akan terasa semakin sempurna (abadi).”

Abu Faraj menjelaskan dalam An-Nira bahwa menurut Mu’awiyah terdapat tiga macam kemuliaan, yaitu sifat pemaaf, mampu menahan lapar dan tidak berlebihan dalam memiliki rasa cemburu (yang tidak pada tempatnya). karena berlebihan itu merupakan hal melampaui batas dan merupakan suatu kezhaliman terhadap pasangannya.

Cemburu demi kebenaran dan ketaatan merupakan dasar perjuangan amar ma’ruf nahi munkar. Untuk itu, apabila tidak terdapat kecemburuan dalam hati seorang yang beriman, maka sudah dapat dipastikan tidak ada dorongan untuk berjuang dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar padanya yang dimulai dari diri dan keluarganya. (QS.AT-Tahrim:6) Oleh karena itu, Allah menciptakan sebagian dari tanda kecintaan-Nya untuk berjuang sebagaimana firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah:54)

Kecemburuan yang pada tempatnya akan bernilai ibadah dan dicintai Allah yakni cemburu terhadap sesuatu pelanggaran nilai syariah secara pasti dan jelas. Namun kebalikannya, kecemburuan akan bernilai maksiat dan dibenci Allah yang justru akan merenggangkan tali cinta kasih suami-istri, mengganggu ketenteraman keluarga dan menyengsarakan hidup bersama jika hal itu cuma mengada-ada, su’udzon (negative thinking), syak wasangka, curiga terhadap sesuatu yang belum jelas dan pasti, serta cemburu buta secara bodoh karena rasa was-was yang tidak pada tempatnya itu berasal dari setan (QS. An-Naas:3-6). Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kecemburuan itu ada yang disukai oleh Allah dan ada yang dibenci oleh-Nya. Adapun kecemburuan yang disukai adalah kecemburuan pada hal-hal yang pasti, sedangkan yang dibenci oleh-Nya adalah kecemburuan pada hal-hal yang tidak pasti.” (HR. Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Dengan demikian, rasa cemburu ada dua macam. Pertama adalah cemburu yang merupakan fitrah manusia, yaitu cemburu netral yang dapat menjaga dan melindungi harga diri dan keluarga dari tindakan pencemaran citra dan atau sikap melampaui batas. Cemburu seperti itu dianggap akhlaq mulia yang patut dimiliki oleh setiap orang beriman. Kedua, adalah cemburu yang merugikan, dibenci dan terlarang, yaitu rasa cemburu tanpa alasan yang selalu menyiksa jiwa. Ketika pikiran sedang dikuasai prasangka buruk, dapat saja kita menuduh orang yang tidak bersalah. Di atas itu semua, rasa cemburu yang tidak beralasan dapat merusak dinamika dan ketenteraman kehidupan rumah tangga. Rasulullah pernah bersabda: “Rasa cemburu ada yang disukai Allah dan ada pula yang tidak disukai-Nya. Kecemburuan yang disukai Allah adalah yang disertai alasan yang benar. Sedangkan yang dibenci ialah yang tidak disertai alasan yang benar.” (HR. Abu Daud).

Api cemburu buta yang tidak pada tempatnya dapat menghanguskan kebenaran dan melahirkan tindakan gegabah ataupun aniaya. Kondisi demikiankah yang menjadi asbabun nuzul dari surat At-Tahrim di atas yang memberikan pelajaran tentang arti cinta dan cemburu sehingga cinta kepada Allah harus didudukkan yang paling tinggi sehingga cemburu tidak akan keluar dari rel kesucian cinta kepada Allah, meskipun semula berangkat dari fitrah alamiah dari rasa cemburu. Rasulullah pernah bertanya pada istrinya, Aisyah Ummul Mukminin RA.: “Apakah engkau pernah merasa cemburu?” Aisyah menjawab, “Bagaimana mungkin orang seperti diriku ini tidak merasa cemburu jika memiliki seorang suami seperti dirimu.” (HR. Ahmad).

Ketika Rasulullah sampai di Madinah bersama Shafiya yang sama-sama hijrah dan yang beliau nikahi di perjalanan menuju Madinah, Aisyah berkata: “Aku menyamar dan keluar untuk melihatnya. Tetapi, Rasulullah mengetahui apa yang kulakukan dan beliau berjalan ke arahku. Maka aku pun bergegas meninggalkan beliau. Namun beliau mempercepat langkahnya hingga menyusulku. Kemudian beliau bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang dirinya.’ Aisyah menjawab dengan nada sinis, ‘ia adalah wanita Yahudi, putri seorang Yahudi.” (HR. Ibnu Majah).

Dari Aisyah RA, ia berkata: ‘pernah suatu malam, Nabi saw ada bersamaku dan beliau pada saat itu mengira aku telah tertidur. Maka beliau keluar dan aku pun mengikuti jejak langkah beliau. Sungguh aku mengira bahwa beliau pergi untuk menemui istrinya yang lain, hingga beliau sampai pada suatu tempat pemakaman. Lalu beliau pun berbelok dan aku pun mengikutinya. Beliau mempercepat langkahnya dan aku pun mempercepat langkahku. Kemudian beliau bergegas kembali ke rumah dan aku pun berlari agar dapat mendahuluinya menuju rumah. Setelah beliau memasuki rumah, beliau bertanya mengapa nafasku terengah-engah seperti orang yang menderita asma sedang mendaki suatu bukit. Aku pun menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada beliau, bahwa tadi aku mengikuti ke mana beliau pergi. Beliau pun bertanya, ‘apakah engkau mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan tega menyakiti dirimu?’” (HR. Muslim)

Kecemburuan fitrah yang demikian juga dimiliki oleh kalangan sahabat Nabi yang laki-laki. Sebagian sahabat Rasulullah pernah mempunyai rasa cemburu yang agak berlebihan, seperti Umar bin Khatab dan Zubair bin Awwam. Mengenai kecemburuan Umar, dikisahkan sebuah hadits dimana Rasulullah menceritakan: “Ketika aku tidur, aku bermimpi bahwa diriku ada di surga. Tiba-tiba ada seorang wanita sedang berwudhu di dekat sebuah istana surga. Aku bertanya, ‘milik siapa istana itu?’ mereka mengatakan, ‘milik Umar’, lalu aku teringat pada kecemburuan Umar, segera saja aku pergi berlalu. Umar lantas menangis mendengar cerita beliau seraya berkata, ‘Apakah kepadamu aku akan cemburu wahai Rasulullah?’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kecemburuan Zubair dikenal melalui riwayat yang dikisahkan istrinya, Asma binti Abu Bakar RA. “Pada suatu hari aku dalam perjalanan pulang sambil memikul biji gandum di kepala. Lalu aku bertemu dengan Rasulullah (iparnya) yang tengah bersama seseorang dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku dan mengatakan: ‘ikh ….Ikh…’(menyuruh untanya untuk menunduk) agar dapat memboncengku di belakangnya. Aku merasa malu berjalan bersama laki-laki dan teringat pada kecemburuan Zubair, sebab Zubair termasuk orang yang sangat pencemburu. Rasulullah saw mengerti bahwa aku merasa malu, lalu beliau pergi berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bahkan Sa’ad bin Ubadah pernah berkata: “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama isteriku, niscaya aku pukul ia dengan pedang pada bagian yang tajam (untuk membunuhnya).” Maka Rasulullah berkata, ‘apakah kalian heran akan kecemburuan Sa’ad, sungguh aku lebih cemburu daripadanya dan Allah lebih cemburu daripadaku.’” (HR. Bukhari dan Muslim). Qais bin Zuhair juga pernah berkata: “Aku ini adalah tipe orang yang memiliki sifat pencemburu, orang yang cepat merasa bangga dan memiliki perangai yang kasar. Akan tetapi, aku tidak akan merasa cemburu, sampai aku melihat sendiri dengan mata kepalaku. Aku juga tidak merasa bangga sampai aku berbuat sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Aku juga tidak akan berlaku bengis sampai diriku benar-benar dizhalimi.”

Meskipun demikian, namun berkat rahmat Allah, berbagai peraturan syariat mampu menjinakkan dan mengendalikan kecemburuan para sahabat tersebut. Terdapat kisah seorang sahaya perempuan Umar ikut shalat Subuh dan Isya berjamaah di masjid Nabawi. Dikatakan kepadanya: ‘mengapa kamu keluar rumah, sedangkan kamu tahu Umar tidak senang akan hal itu dan akan merasa cemburu?’ ia menjawab, ‘Apa yang menghalanginya untuk melarang aku (keluar rumah untuk pergi ke masjid)?’ Lanjutnya, ‘ia justru dihalangi untuk melarangku demikian oleh sabda Rasul ‘janganlah kamu larang hamba wanita Allah untuk pergi ke masjid’.” (HR. Bukhari).

Fenomena yang beragam ini dalam menyikapi kecemburuan memang sangat dipengaruhi oleh pemahaman terhadap makna kecemburuan di samping oleh pembawaan pribadi, karakter atau temperamen individu. Namun, terdapat titik temu yang menjadi pegangan dalam hal kecemburuan yakni dalam rangka amar ma’ruf dan nahi mungkar, melindungi harga diri dan keluarga serta mencegah kemungkinan terjadinya fitnah yang mencemarkan dan menodai kesucian keluarga berdasarkan indikasi kuat, bukti yang nyata serta gejala yang pasti dalam bingkai baik sangka (husnuudzdzan/positive thinking) yang lebih mendahulukan keutuhan keluarga shalihah agar senantiasa dalam ridha Allah SWT dan syariat-Nya. Wallahu A’lam Wa Billahit taufiq wal Hidayah.
Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......