Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Kebutuhan, Bukan Ketergantungan

 Muhammad Anis Matta
Baik dalam kaitannya dengan kebutuhan psikologis akan kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang, maupun dalam kaitannya dengan kebutuhan biologis terhadap perempuan, selalu tersisa sebuah syubhat yang harus dijelaskan.

Kedua jenis kebutuhan itu tidak pernah berkembang menjadi ketergantungan yang melumpuhkan. Cinta yang besar kepada istri, misalnya, baik pada sisi psikologisnya maupun pada sisi biologisnya, tidak boleh berkembang menjadi ketergantungan. Dan itulah yang buru-buru diingatkan oleh Al-Qur’an, bahwa keluarga, pada suatu ketika seperti ini, dapat menjadi musuh bebuyutan.

Ketergantungan adalah tanda kelemahan jiwa. Dan seseorang tidak akan pernah menjadi pahlawan dengan jiwa yang lemah. Suatu saat Abu Bakar As-Shiddiq pernah menyuruh anaknya menceraikan istrinya. Sebabnya adalah sang istri terlalu cantik dan sang anak terlalu mencintainya, bahkan kadang ketinggalan shalat jama’ah karena berat berpisah dengan istrinya.

Pada kesempatan lain, Umar bin Khattab juga pernah menyuruh puteranya, Abdullah Bin Umar, satu dari tujuh ulama besar sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, untuk menceraikan istrinya. Alasannya sama, karena ia terlalu mencintai istrinya. Walaupun Abdullah bin Umar tetap mempertahankan istrinya, tetapi sang ayah menganggap itu sebagai kelemahan jiwa.

Maka, ketika seorang sahabat mengusulkan kepada Umar untuk mencalonkan puteranya itu, Abdullah, sebagai khalifah, beliau menjelaskan beberapa alasan penolakannya, diantaranya, katanya, “Saya tidak akan pernah menyerahkan amanah ini kepada seorang laki-laki yang lemah, yang bahkan tidak berdaya menceraikan istrinya.”

Jadi, syahwat kepada perempuan dan kebutuhan akan kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang bersinergi dengan baik bersama rasionalitas sang pahlawan. Maka, mereka melepaskan sisi kekanakan mereka dengan polos, atau menumpahkan syahwat mereka dengan sempurna, tetapi mereka tidak berubah menjadi seorang pria melankolik.

Mereka mungkin romantis, tetapi tidak melankolik.
Perbedaan itu akan terlihat pada, misalnya, peristiwa kematian atau perceraian. Mereka mungin sangat bersedih, tetapi mereka tidak larut. Mereka mungkin terguncang, tetapi tidak meratap. Kenangan ada ruangnya dalam ingatan mereka, tetapi pesta sejarah harus dilanjutkan. Mereka memiliki kebesaran jiwa yang mengalahkan sifat melankolik mereka.

Maka, walaupun Rasulullah saw sangat mencintai Khadijah, beliau akhirnya menikah lagi dengan Saudah dan Aisyah pada tahun kesebelas. Kesedihan dan ingatannya pada Khadijah tidak hilang sama sekali. Yang terjadi adalah rasionalitas dan realisme mengalahkan segalanya.

Lengkapnya Klik DISINI

Masih Pantaskah Kita Mengeluh?

Masih Pantaskah Kita Mengeluh?
“Huh, lagi-lagi begini. Kapan sih aku hidup bahagia?”

Mungkin tak sedikit dari kita yang suka mengeluhkan cobaan yang datang dari Allah. Tidak mau bersabar dengan bentuk ujian dari Allah bahkan sampai menyalahkan takdir Allah serta tidak mengakui nikmat yang Allah berikan. Orang-orang yang tidak mau mengakui bahwa sebenarnya ia pernah merasakan kebahagiaan namun mengingkarinya seperti kalimat pembuka di atas.

Untuk belajar bagaimana makna kesabaran ada baiknya kita menyimak kisah dari sahabat mulia Ammar bin Yasir radhiyallahuanhuma. Siapa tak mengenal Ammar bin Yasir? Beliau adalah salah satu imam besar dan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun, yakni orang-orang yang pertama kali masuk islam.

Ayahnya bernama Yasir bin Amir  dan Ibunya bernama Sumayyah binti Kubbath. Ayah dan Ibunya adalah orang pertama dan kedua yang menjemput kesyahidan ketika mempertahankan keimanan mereka karena siksaan kafir Quraisy. Kesabaran dan ketabahan yang luar biasa dari mereka mungkin tidak bisa dibayangkan oleh orang-orang di zaman para sahabat apalagi umat Islam pada zaman sekarang ini.

Semenjak keislamannya diketahui oleh orang-orang kafir Quraisy, keluarga Amar bin Yasir tak luput dari penganiayaan dan penyiksaan. Mereka diseret keluar menuju tanah lapang oleh kaum musyrikin yang dipimpin oleh Abu Jahal di siang hari yang panas dan menyengat. Mereka disiksa dicambuk hingga punggung mereka berdarah-darah. Lebih dari itu mereka disiksa dengan besi panas ditempelkan ke dadanya. Hingga sang ayah, Yasir bin Amir menjemput kesyahidan dalam siksaan tersebut. Sedangkan ibunya Sumayyah binti Kubbath ditusuk  oleh Abu Jahal pada kemaluannya dengan tombak hingga meninggal dunia.

Setelah itu kaum musyrikin tak henti-hentinya menyiksa Ammar dengan menjemurnya, meletakan batu besar panas di atas dadanya hingga penderitaan yang amat sangat dan hilang kesadaran akalnya. Kala itu mereka berkata kepadanya, “Kami akan terus menyiksamu  hingga engkau mencaci Muhammad atau mengatakan sesuatu yang baik terhadap Lata dan Uzza”. Maka, dia pun dengan terpaksa menyetujui hal tersebut. Setelah kejadian itu, dia mendatangi Rasulullah SAW sambil menangis dan meminta maaf atas hal tersebut kepada beliau. Ketika itu turunlah ayat;

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapatkan kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir pada hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)..” (QS. An-Nahl : 106)

Diriwayatkan dari Utsman, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Bersabarlah seperti kesabaran keluarga Yasir, karena yang dijanjikan kepada kalian adalah surga.”

Apakah kita pantas mengeluh kepada Allah atas musibah yang menimpa kita, yang jauh lebih ringan dibandingkan penderitaan dan siksaan yang pernah dialami oleh keluarga Ammar bin Yasir? Bahkan sebagian dari saudara kita yang  mengaku kaum muslimin justru ketika mengalami kesusahan mereka mendatangi dukun-dukun, meminta jimat-jimat yang sama sekali tidak akan mendatangkan manfaat bagi mereka.

Ketika kita menerima sebuah ujian dan cobaan hidup hendaklah kita mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan senantiasa bersabar menjalaninya. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan ujian dan cobaan yg melebihi kekuatan hambaNya.

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al Insyiroh ayat 6-7)

Apabila kita sedang dilanda kesulitan dan kegelisahan maka kita dianjurkan memperbanyak doa seperti yang diajarkan oleh Rosulullah SAW berdasarkan hadits berikut

Rasulullah SAW memperbanyak do’a: “Ya Alloh, aku berlindung kepadaMu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalas-an, dari sifat pengecut dan bakhil serta dari tidak mampu membayar hutang dan dari penguasaan orang lain.” (HR. Al-Bukhari).

Oleh: Alir Retno, Yogyakarta
FacebookTwitterBlog

Lengkapnya Klik DISINI

Kami Akan Tetap Disini...

Sejak dikibarkannya panji da’wah pada masa Rasulullah saw, hingga saat ini panji da’wah ini tetap berkibar dengan tegar. Meskipun sejuta fitnah terus menggoyahkan da’wah ini. Meskipun hizbussyaithon tak pernah henti membuat makar pada da’wah ini. Meskipun para kaum munafik dengan kelicikannya terus menggoyahkan keyakinan dan kestiqohan prajurit da’wah ini…meskipun ancaman-ancaman yang dilontarkan terus menyinggapi jundi-jundi da’wah ini..meskipun arus deras fitnah yang membadai menghantam tubuh para qiyadah ini…kami akan tetap disini. Bersama kalian, saling berpegangan tangan, menyatukan hati, memperkokoh barisan, merajut ukhuwah, melangkah tegap bersama, menghantam badai fitnah murahan, sampai kemuliaan kami raih atau kesyahidan menjemput kami..saksikanlah janji kami!!  

Fitnah hari ini tak berarti apa-apa bagi kami. Karena kami selalu berkaca dengan para pendahulu kami. Mereka disiksa, dibunuh, difitnah, dan sejuta kisah targis lain yang membuat kami malu untuk mengeluh apalagi menyerah pada musuh-musuh da’wah ini. Ujian kami tak seberapa..jauh dibanding Bilal bin Rabah yang disiksa ditengah terik matahari dengan ditindih batu besar. Ujian kami tak seberapa..dengan sahabat yang dipotong anggota tubuhnya satu persatu agar meninggalkan dien ini, ujian kami tak seberapa.. dengan para syaikh kami yang kuku-kukunya dicabut satu persatu di dalam sel..ujian kami tak seberapa..malu kami untuk mengeluh dan menyerah…malu kami menghakimi qiyadah kami, malu kami lebih percaya fitnah yang gencar menyerang lewat media terhadap qiyadah-qiyadah kami.
Kami memang terkadang menangis..tapi bukan karena fitnah yang membuat kami menangis. Tapi karena rasa tsiqoh kami dengan saudara sendiri dikalahkan dengan fitnah yang menimpah saudara kami. Kami menangis karena da’wah yang telah membesarkan kami, tak lagi kami percaya dengannya, karena arus deras fitnah media yang tak jelas siapa mereka…satu pertanyaan yang membuat kami tertohok “antum lebih tsiqoh saudara antum atau media???”..maafkan kami duhai saudara kami dimanapun berada, maafkan kami duhai para qiyadah kami, kami sadar kalian terluka dengan tingkah kami, kami tahu kalian “kecewa” dengan kami..maafkan kami yang sempat meragukan keikhlasan antum dalam berdakwah,,dan “memaki” keikhlasan antum dalam beramal.
Bergugurannya para ikhwah dari kafilah dakwah ini, tak akan mempengaruhi kami. memang serasa bumi terbelah dan langit serasa runtuh saat satu diantara saudara kami harus pergi meninggalkan kafilah ini. Karena mereka adalah saudara kami se-iman, se-aqidah se-perjuangan. Kami tetap mendo’akan, mengajak untuk kembali bersama-sama mereguk manisnya iman dan ukhuwah bersama kafilah dakwah ini. Kami akan tetap menjaga kehormatan saudara-saudara kami yang sudah tak lagi bersama kami. Dan kami juga berdo’a agar mereka yang telah pergi tidak menjadi bagian apa yang disampaikan oleh asy-syahid Sayyid Quthb ini :
"Dari waktu ke waktu, ada sebagian anggota jamaah yg melakukan penyimpangan. Dan setiap kali para pelaku penyimpangan itu berguguran bagaikan gugurnya daun-daun kering dari pohonnya yg besar. Boleh jadi musuh memegang salah satu ranting dari pohonnya itu. Ia mengira bahwa dengan menarik ranting itu ia akan dapat mencerabut pohon scr keseluruhan. Hingga, ketika sampai waktunya, dan si musuh menarik ranting itu, ia lepas dalam bentuk kayu bakar kering, TANPA AIR & TANPA KEHIDUPAN. Sementara si pohon tetap berdiri dengan kokohnya" Asy-Syahid Sayyid Quthb

Dan kepada Pemilik Hati; Allah SWT, mari kita doakan saudara-saudara yang lain yg patah dari pohon besar itu agar kembali bersama kita dalam suka cita berjamaah...
Kami akan tetap bertahan disini..bersama saudara saudara kami…kalian salah menjatuhkan kami dengan fitnah, kalian keliru memborbardir kami dengan makar-makar kacangan..kalian mengira, kami akan terpecah belah dengan semua fitnah-fitnah ini? tidak! Justru kami akan semakin kuat!..sampai nyawa ini terbang mengangkasa, sampai dunia ini hancur lebur, kami akan tetap disini…maju atau hancur bersama dalam kafilah dakwah ini…
********
 
“Pendukung partai Wafd terus menebar tipu daya terhadap Ikhwan. Hinga akhirnya mempengaruhi seorang Ikhwan bernama Ustadz Ahmad As-Sukari yang dikenal memiliki kecenderungan kepada Al-Wafd. As Sukari menyatakan diri keluar dari Ikhwan dan berbalik menyerang secara khusus terhadap pimpinan Ikhwan, Hasan Al-Banna. Harian Al-Wafd menyediakan ruangan khusus di halaman pertamanya untuk Ahmad As-Sukari yang bertema  “Bagaimana kekeliruan Hasan Al-Banna dalam Dakwah Ikhwanul Muslimin?”.
Mereka mengira tulisan-tulisan itu akan memecah barisan Ikhwan dan menyebabkan sebagian besar Ikhwan keluar mengikuti jejak Ahmad As-Sukari. Namum kenyataannya, keluarnya As-Sukari dari barisan Ikhwan ibarat menarik sehelai rambut dari tepung. Tak ada yang menangisi kepergiannya, tak ada hati yang peduli merindukannya. Para Ikhwan hanya menyayangkan apa yang ia tulis di media massa tersebut. Ikhwan berusaha menyikapi hal ini sebagaimana firman Allah SWT.
"dan apabila mereka mendengar Perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil".
(Al Qashash:55)

Ada juga yang mengikuti sikap As-Sukari, tapi itu sangat sedikit dan sama sekali tidak mempengaruhi sikap Ikhwan yang lainnya. Hasan Al-Banna sendiri tidak membalas serangan dan kritikan Ahmad As-Sukari secara khusus. Al-Banna hanya menuliskan sebuah makalah yang berisi harapan agar perpisahan dirinya dengan As Sukari dilakukan dengan baik, tidak melupakan kebaikan masing-masing tetap menyambung hubungan baik diantara mereka meski telah berpisah jalan. Al Banna mengatakan bahwa dirinya tak ingin masuk kedalam peperangan itu, dan menyerahkan semua urusannya kepada Allah SWT, dengan mengutip firman Allah SWT.

“Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi Kami. amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)". (Asy Syura:15)
(Aku dan Al Ikhwanul Muslimin” Dr. Yusuf Qaradhawi )
-abu rafah-
 
Lengkapnya Klik DISINI

Tsawabit

 Shalah Sulthan
1. Definisi nama dan istilah yang syar’I merujuk pada Al Qur’an, hadits, dan atsar sahabat
Kata iman, kufur, dan sejenisnya adalah kata-kata syar’i yang wajib dikembalikan kepada Al Qur’an, hadits, dan atsar dalam memahaminya. Nabi Saw. telah menjelaskannya, sehingga tidak memerlukan lagi argumentasi tentang usul-usul dan akar katanya serta bukti pemakaian istilah itu oleh bangsa arab dan semisalnya. Karenanya, merujuk kepada penjelasan Allah dan Rasul-Nya dalam memahami kandungan makna istilah ini adalah suatu keharusan, karena sudah jelas dan mencukupi. Sedangkan berpaling dari manhaj ini merupakan awal jalan menuju penyimpangan dan bid’ah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah mengatakan,”Perlu diketahui bahwa kata-kata yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadits jika telah diketahui maksudnya dari keterangan Nabi, maka tidak diperlukan lagi pencarian dalil dengan ucapan ahli bahasa atau lainya.”[109]

2. Iman terdiri dari qaul (ucapan) dan ‘amal (perbuatan)
Qaul maksudnya adalah ucapan hati, yakni mengetahui, membenarkan, dan mengakui, juga ucapan lisan, yakni mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensinya. Sedangkan ‘amal maksudnya adalah perbuatan hati, yakni menerima, mematuhi, mencintai dan ikhlas, dan perbuatan anggota badan yakni mengerjakan amal-amal anggota badan yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya.

Imam Bukhari mengatakan,”Saya telah bertemu dengan lebih dari seribu ulama di berbagai wilayah, saya tidak pernah melihat ada di antara mereka yang berbeda pendapat bahwa sesungguhnya iman adalah qaul dan ‘amal, bisa bertambah dan bisa berkurang.”[110]

Dalam kitabnya Syarah Ushul I’tiqad Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah, Imam Allalikai menukil pengertian ini dari sejumlah besar ulama, di antaranya adalah Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rawahah, Abu Ubaid, Abu Zar’ah, dan lainya.[111]

3. Pokok iman adalah membenarkan berita dan melaksanakan perintah
Barangsiapa tidak membenarkan dengan hatinya dan tidak melaksanakan pesan Islam, maka ia kafir. Karena itulah ketika sekelompok orang Yahudi datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, “Kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau adalah utusan Allah,” tidaklah serta merta mereka menjadi Islam, sebab mereka mengatakannya dalam rangka memberikan apa yang di dalam hati mereka, “Kami mengetahui dan meyakini bahwa engkau adalah utusan Allah”. Karena itu, Rasulullah bertanya,”Mengapa kalian tidak mau mengikutiku?” Mereka menjawab,”Kami takut orang-orang Yahudi.”

Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa semata-mata mengetahui dan menceritakan pengetahuan belumlah disebut iman, sampai keimanannya tersebut diucapkannya sebagai pernyataan yang  mengandung komitmen dan kepatuhan serta pemberitaan tentang keyakinan dalam hatinya. Orang-orang munafik berkata dengan dusta untuk memberitahukan imannya, sementara dalam batinnya mereka kufur. Sedangkan kelompok Yahudi  yang mengatakan keimanan tanpa disertai komitmen dan kepatuhan, pada hakekatnya adalah orang-orang kafir lahir dan batin. Begitu juga Abu Thalib, banyak riwayat mengatakan bahwa ia telah mengetahui kenabian Muhammad Saw. dan berkata,”Sungguh aku tahu bahwa agama Muhammad adalah sebaik-baik agama yang dianut manusia.” Akan tetapi, ia menolak untuk mengatakan tauhid dan kenabian, karena cintanya kepada agama nenek moyang dan khawatir dihina kaumnya. Oleh karena ilmunya di dalam batin tidak disertai kecintaan dan kepatuhan, sehingga ia tetap mencintai kebatilan dan membenci kebenaran, maka ia tidak menjadi beriman.”[112]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah mengatakan, “telah diketahui bahwa iman adalah iqrar (pengakuan), bukan sekadar pembenaran. Iqrar mengandung ucapan hati, yaitu pembenaran dan perbuatan hati, yaitu kepatuhan. Maksudnya membenarkan apa yang diberitakan rasul dan mematuhi apa yang diperintahkannya, sebagaimana iqrar terhadap Allah berarti mengakui-Nya dan beribadah kepada-Nya. Kufur adalah tidak adanya iman, baik disertai pendustaan, kesombongan, pembangkangan, atau keberpalingan. Barangsiapa di dalam hatinya tidak terdapat pembenaran dan kepatuhan, maka ia adalah kafir.”[113]

Di tempat lain ia menjelaskan,”Tidak ada bedanya antara orang yang meyakini Allah sebagai Tuhan dan Dia telah memerintahkan keyakinan ini kepadanya, kemudian ia bersaksi bahwa dirinya tidak mau patuh kepada-Nya karena perintah-Nya dianggap tidak benar, dengan orang yang meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan ia wajib diikuti dalam pemberitaan dan perintah, namun ia lalu dicaci maki atau mencela sebagian dari perbuatannya, atau ia merendahkan martabatnya dengan sesuatu yang tidak sepantasnya disandang seorang rasul.

Iman adalah perkataan dan perbuatan. Barangsiapa meyakini Allah dalam sifat ketuhanan-Nya dan meyakini Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya, kemudian tidak mengiringi keyakinannya dengan sikap mengagungkan dan memuliakan sebagaimana keadaan hati yang menampakkan pengaruhnya pada anggota badan, bahkan ia menyertainya dengan sikap meremehkan dan merendahkan dengan ucapan dan perbuatan, maka adanya keyakinan itu sama dengan tidak adanya, karena telah menjadi rusak dan tidak membawa manfaat dan kebaikan.”[114]

Ibnul Qayyim mengatakan,”sesungguhnya iman bukanlah sekadar pembenaran, akan tetapi iman adalah pembenaran yang mendatangkan ketaatan dan kepatuhan. Begitu juga petunjuk, ia bukanlah sekedar pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, melainkan pengetahuan tentang kebenaran yang menimbulkan ketaatan dan pengalaman yang menjadi konsekuensinya. Kalaupun yang pertama disebut petunjuk, maka bukanlah petunjuk sempurna yang membuat seorang mendapat hidayah. Sebagaimana keyakinan yang hanya berupa pembenaran semata-mata, walaupun disebut pembenaran namun bukanlah pembenaran yang menjadikannya seseorang disebut beriman. Telaahlah prinsip ini dan perhatikanlah dengan seksama.”[115]

4. Berpaling dari hukum syariat dan mendustakannya, merupakan kufur besar.
Telah menjadi jelas bahwa iman adalah pengakuan terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw. dengan pembenaran dan kepatuhan. Barangsiapa tidak terdapat pembenaran dan kepatuhan di dalam hatinya, ia adalah kafir. Atas dasar ini, maka menolak hukum syariat adalah seperti mendustakannya. Menolak hukum syariat makasudnya adalah tidak menerimanya dan menolak untuk berkomitmen dengannya sebagai agama, untuk beribadah kepada Allah sebagai hukum yang wajib diikuti dalam menghadapi perselisihan. Ia berkaitan dengan penentangan kepada syariat dan penolakan mengikutinya sejak awal. Oleh karena itu, ia dibedakan dari perbuatan maksiat yang dilakukan terus menerus tanpa taubat, karena ini berkaitan dengan keengganan menerapkan hukum, sedangkan penolakan berkaitan dengan penentangan penerapan hukum syariat.

Allah berfirman,
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat,”Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir (Al Baqarah:34)

Kekafiran iblis bukanlah karena mendustakan karena ia berbicara langsung dengan Allah, akan tetapi karena penentangan dan kesombongan.

Allah berfirman
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (An Nisa: 65)

Dalam tafsir Ahkam Al Qur’an, Imam Al Jasshash mengatakan,”Ayat ini menunjukan bahwa orang yang menolak salah satu perintah Allah atau perintah Rasul-Nya Saw., maka ia telah keluar dari Islam, baik ia menolaknya karena keraguan maupun karena tidak mau menerimanya dan tidak patuh terhadapnya. Ini membuktikan kebenaran sikap yang diambil para sahabat dalam menghukumi murtadnya orang-orang yang menolak membayar zakat, serta memerangi mereka dan menjadikan anak isterinya sebagai tawanan, karena Allah telah menetapkan bahwa orang yang tidak tunduk kepada putusan dan hukum nabi, bukanlah termasuk orang beriman.”[116]

Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah yang terdahulu menegaskan,”kufur adalah tidak adanya keimanan, baik disertai pendustaan atau kesombongan, pembangkangan atau keberpalingan. Maka dari itu, barangsiapa di dalam hatinya tidak terdapat sikap pembenaran dan kepatuhan, ia adalah orang kafir.”

Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq mengatakan,”Hukum tentang ini tidak ada perbedaan pendapat sama sekali, yakni hokum tentang kafirnya orang yang menolak hukum Allah yang tertera dalam kitab-Nya atau ditegaskan oleh rasul-Nya, bahwa syariat tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan manusia dan tidak selaras dengan tuntutan masa, kejam, dan sejenisnya. Karena mencela syariat pada hakikatnya adalah mencela peletak syariat, padahal yang meletakkan syariat dan menetapkannya adalah Allah Swt. Tidak ada seorang Muslim pun yang meragukan bahwa mencela Allah atau menisbatkan sifat kekurangan atau kebodohan kepada-Nya adalah kekafiran dan keluar dari Islam. Oleh karena itu, persoalan utama orang-orang yang menolak hukum Islam adalah mereka bukanlah termasuk jamaatul muslimin dan tidak bergabung kepada umat Islam sama sekali, kecuali kalau mereka telah memproklamirkan tobatnya kepada Allah Swt.”[117]

Ustadz Abdul Qadir Audah mengatakan, “Termasuk telah disepakati bahwa orang yang menolak sesuatu dari perintah Allah dan rasul-Nya berarti keluar dari Islam, baik ia menolaknya karena keraguan atau karena tidak menerima, atau enggan berserah diri. Para sahabat telah menetapkan hukum murtad bagi orang-orang yang menolak membayar zakat dan menilai mereka kafir, keluar dari Islam. Allah telah menetapkan bahwa orang yang tidak tunduk kepada rasul serta tidak tunduk kepada putusan dan hukumnya, maka ia bukan orang beriman. Allah Swt. berfirman,

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ( An Nisa:65)”[118]

Di antara bentuk keberpalingan dari hukum syariat ini tercermin dalam praktik yang berlaku di negeri-negeri kaum muslimin. Yaitu dipakainya hukum positif buatan manusia yang menanggalkan hukum-hukum syariat pada sebagian besar urusan kenegaraan, dan membolehkan berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah dalam persoalan tersebut, bahkan mengharuskannya dan menghukum siapa yang menentangnya.

Lengkapnya Klik DISINI

Jangan Menyekutukan Allah dengan Ucapan Sumpahmu

Jangan Menyekutukan Allah dengan Ucapan Sumpahmu Ibnu Abbas Radhiyallahu ’Anhu mengatakan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, maka Nabi bersabda , “Apakah kamu telah menjadikan diriku sekutu bagi Allah? Hanya atas kehendak Allah semata.”

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Apakah engkau menjadikan diriku sekutu bagi Allah?” adalah sebagai bukti adanya penolakan terhadap orang-orang yang mengatakan kepada beliau, “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”.

Jika demikian sikap beliau, lalu bagaimana dengan orang-orang yang mengatakan tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan perkataan, “Wahai makhluk termulia, tak ada seorangpun bagiku sebagai tempatku berlindung kecuali engkau (Muhammad).” Padahal, tempat berlindung adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka janganlah kamu membuat sekutu untuk Allah padahal kamu  mengetahui (bahwa Allah adalah Maha Esa) ” (QS Al Baqarah: 22).

Ibnu Abbas Radhiyallahu ’Anhu dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan, “Membuat sekutu untuk Allah adalah perbuatan syirik, suatu perbuatan dosa yang lebih sulit untuk dikenali dari pada semut kecil yang merayap di atas batu hitam, pada malam hari yang gelap gulita. Yaitu seperti ucapanmu, ‘Demi Allah dan demi hidupmu wahai Fulan, juga demi hidupku’, atau seperti ucapan,  ‘Kalau bukan karena anjing ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri itu’, atau seperti ucapan, ‘Kalau bukan karena angsa yang di rumah ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri tersebut’, atau seperti ucapan seseorang kepada kawan-kawannya, ‘Ini terjadi karena kehendak Allah dan kehendakmu’, atau seperti ucapan seseorang, ‘Kalaulah bukan karena Allah dan Fulan’. Oleh karena itu, janganlah kamu menyertakan “Si Fulan” dalam ucapan-ucapan di atas, karena bisa menjatuhkan anda ke dalam kemusyrikan.” (HR. Ibnu Abi Hatim)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, maka ia telah berbuat kekafiran atau kemusyrikan.” (HR At Tirmidzi, dan ia nyatakan sebagai hadits hasan, dan dinyatakan oleh Al Hakim: shahih).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian bersumpah dengan nama nenek moyang kalian! Barangsiapa yang bersumpah dengan nama Allah, maka hendaknya ia jujur. Dan barangsiapa yang diberi sumpah dengan nama Allah, maka hendaklah ia rela (menerimanya). Barangsiapa yang tidak rela menerima sumpah tersebut maka lepaslah ia dari Allah” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)

Bahkan, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ’Anhu berkata “Sungguh bersumpah bohong dengan menyebut nama Allah lebih aku sukai daripada bersumpah jujur tetapi dengan menyebut nama selainNya.”

Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu ’Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendak si Fulan’, tapi katakanlah, ‘Atas kehendak Allah kemudian atas kehendak si Fulan’.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang baik)

Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha’i bahwa ia melarang  ucapan, “Aku berlindung kepada Allah dan kepadamu”, tetapi ia memperbolehkan ucapan, “Aku berlindung kepada Allah, kemudian kepadamu”, serta ucapan, ‘Kalau bukan karena Allah kemudian karena si Fulan’, dan ia tidak memperbolehkan ucapan, ‘Kalau bukan karena Allah dan karena Fulan’.

Qutaibah Radhiyallahu’anhu berkata bahwa ada seorang Yahudi datang kepada Rasulullah, lalu berkata, “Sesungguhnya kamu sekalian telah melakukan perbuatan syirik, kalian mengucapkan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, dan mengucapkan,  ‘Demi Ka’bah’.

Maka Rasulullah memerintahkan para Sahabat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan, “Demi Rabb Pemilik Ka’bah’, dan mengucapkan, ‘Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendakmu’. (HR An Nasa’i dan ia nyatakan sebagai hadits shahih).
Hadits di atas menunjukkan bahwa orang Yahudi pun mengetahui tentang perbuatan yang disebut syirik ashghar atau kecil.

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Ath Thufail saudara seibu Aisyah Radhiyallahu ‘Anhumma, ia berkata:
Aku bermimpi seolah-olah aku mendatangi sekelompok orang-orang Yahudi, dan aku berkata kepada mereka, “Sungguh kalian adalah sebaik-baik kaum, jika kalian tidak mengatakan, ‘Uzair putra Allah’. “

Mereka menjawab, “Sungguh kalian juga sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad’.”
Kemudian aku melewati sekelompok orang-orang Nasrani, dan aku berkata kepada mereka, “Sungguh kalian adalah sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan, ‘Al Masih putra Allah’.”

Mereka pun balik berkata, “Sungguh kalian juga sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan, “Atas kehendak Allah dan Muhammad’.”

Maka pada keesokan harinya aku memberitahukan mimpiku tersebut kepada kawan-kawanku. Setelah itu aku mendatangi Nabi Muhammad, dan aku beritahukan hal itu kepada beliau. Kemudian Rasul bersabda, “Apakah engkau telah memberitahukannya kepada seseorang?”
Aku manjawab, “Ya.”

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda yang diawalinya dengan memuji nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Amma ba’du. Sesungguhnya Thufail telah bermimpi tentang sesuatu, dan telah diberitahukan kepada sebagian orang dari kalian. Dan sesunguhnya kalian telah mengucapkan suatu ucapan yang ketika itu saya tidak sempat melarangnya, karena aku disibukkan dengan urusan ini dan itu, oleh karena itu, janganlah kalian mengatakan, “Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad”, akan tetapi ucapkanlah, “Atas kehendak Allah semata’.”

Pemahaman seseorang akan kebenaran tidak menjamin ia untuk menerima dan melaksanakannya, apabila ia dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Sebagaimana orang-orang Yahudi tadi, mereka mengerti kebenaran, tetapi dia tidak mau mengikuti kebenaran itu, dan tidak mau beriman kepada Nabi yang membawanya.

Ucapan seseorang, “Atas kehendak Allah dan kehendakmu,” termasuk syirik ashghar, tidak termasuk syirik akbar, karena beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kalian telah mengucapkan suatu ucapan yang karena kesibukanku dengan ini dan itu aku tidak sempat melarangnya.” Jika ia merupakan syirik besar, tentu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarangnya meskipun ada kesibukan.
 
 sumber : http://www.fimadani.com/jangan-menyekutukan-allah-dengan-ucapanmu/
Lengkapnya Klik DISINI

Pengetahuan Generasi Al-Fatih

Pasukan Muhammad Al-Fatih (inet)
Pasukan Muhammad Al-Fatih (inet)
Dua puluh dua hari Murad II mengepung Konstantinopel dari arah barat, namun benteng paling kokoh di zamannya selalu melumpuhkan para penantang, sebagaimana ia telah melumpuhkan pasukan muslim selama delapan abad. Namun mimpinya tidak mati, ia inspirasikan ke anaknya Muhammad II hingga mengalir di jiwa dan darahnya lalu menjadi tujuan hidupnya.

Tulisan ini bukanlah kisah pertarungan bukan juga pertempuran, tapi cerita tentang pikiran besar dibalik penaklukan yang kata kuncinya adalah kurikulum Murad II. Maka cerita ini dimulai dari pengisian bahan-bahan pikiran.

Murad II memulai dari ibukota ‘Ustmaniyyah, Edirne. Ia desainkan konsep masjid dan institusi pendidikan terbaik, masjid untuk pendidikan dan institusi pendidikan yang berspirit masjid. Tidak hanya untuk Muhammad II tapi juga untuk pemuda se-generasinya, karena kebangkitan tak ditopang seorang pahlawan tunggal, tapi sebuah generasi berpengetahuan.

Kendala umum anak-anak lingkungan borjuis adalah keangkuhan, termasuk anaknya sendiri. Karena kelimpahan fasilitas, kekuasaan keluarga, dan posisi kepemimpinan yang pasti di tangan adalah racun yang melemahkan sendi-sendi motivasi belajar. Murad II menyelesaikan kendala ini sebelum fase belajar Muhammad II dimulai. Ahmad bin Ismail al-Kurani adalah guru pertamanya “Aku dikirim ayahmu untuk pendidikanmu, bahkan jika diperlukan pukulan-pun aku keluarkan kalau kamu gemar membangkang”. Muhammad II kecil tertawa mendengar gurunya, hingga Sang Guru benar-benar memukulnya. Pukulan itu yang meruntuhkan tameng kewibawaan mental istana, hingga Muhammad II mulai memahami makna menjadi orang biasa, bukan anak raja.

Rombongan ulama besar yang tinggal di sana dikerahkan seluruhnya untuk misi besar penyiapan generasi ini. Seperti murid-murid Syaikh Tiftazani dan Sayyid Syarif Jurjani yang buku-bukunya sekarang dipelajari di Universitas Islam sedunia, bahkan ‘Alauddin at-Thusi langsung mengajar di sana. Tapi mereka tidak diminta mendatangi Muhammad karena ia yang harus berlelah datangi pintu guru-guru itu setiap hari bersama anak-anak jelata lain.

Pendidikan masa kecil itulah cetakan awal karakter Muhammad II yaitu mental seorang ilmuan. Para pakar itu tidak tersaji di halaman istana yang hijau tapi dicari dan didatangi walau di tanah tertandus. Gairah belajar lebih penting dari pada konten pengetahuannya sendiri karena ia yang menjamin kontinuitas. Dan ini keberhasilan didikan Al-Kurani. Sehingga Al-Quran dihafalnya cepat sebelum delapan tahun, lalu ilmu-ilmu syari’at dilahapnya setelah itu.

Bahasa pengantar yang diajarkan pada Muhammad II ada tujuh yaitu: Arab, Turki, Persia, Yunani, Serbia, Italia, dan Latin. Ketujuh bahasa ini ia selesaikan di usia remaja. Maka akses Muhammad II untuk mengkaji semesta ini tidak dibatasi cakrawala budayanya [Turki]. Bahkan zaman Murad II ini dikenal dengan masa emas terjemahan referensi-referensi besar Islam ke dalam bahasa Turki seperti Tafsir dan Tarikh Thabari, Tafsir dan Tarikh Ibnu Katsir, referensi-referensi Fiqih, Hadits, kedokteran, kimia untuk dikonsumsi generasi se-zamannya dan setelahnya.

Tapi keistimewaan tersebut bukan pada kuantitas penguasaan bahasa, karena ia hanyalah tools pembuka pengetahuan, tapi ketepatan sasaran dalam penggunaan. Maka ilmu ketiga dalam kurikulum Murad II untuk dipelajari Muhammad II kecil setelah Qur’an dan Islamologi adalah sejarah. Ia fokus mengkaji kaidah-kaidah kemenangan dan sebab-sebab kekalahan dalam jejak perjalanan umat-umat terdahulu. Lalu Matematika, Geografi dan Astronomi. Perangkat ilmu ini membuatnya rasionalis dan berfikir strategis, berpandangan global dalam perencanaan tapi detail dalam pelaksanaan.

Kemampuan ini saja sudah membuatnya unggul di antara generasi muda sezamannya, namun Murad II memberi anaknya perangkat lain, yaitu sastra. Tak sembarangan, seorang guru besar, Ibnu Tamjid, seorang penyair Arab dan Persia, juga Syaikh Khairuddin dan Sirajuddin al-Halabi. Kapasitas sastra berfungsi menghidupkan pikiran-pikiran imajinatifnya. Bahkan lebih dari itu, Muhammad II memang seorang penyair.

Tibalah bagi Murad II untuk menguji kapasitas pengetahuan Muhammad II. Di usianya yang ke 14, ia ditunjuk menjadi gubernur Manisa. Siapa pun yang pernah mengunjunginya, akan mengakui kapasitas kepemimpinan Muhammad II dalam mengelola kota, manajemen administratif, membangun tentara, mendesain konsep sekolah, dan menghiasi kota dengan seni, festival kebudayaan, dan pembangunan simbol-simbol kebanggaan sejarah.

Namun kesibukan politik tidak mengakhiri petualangan pengetahuannya. Masjid Ibrahim Khaja adalah saksi sejarah seorang pemimpin kota yang rela duduk merendah di jajaran para ulama terbaik di zamannya, khususnya As-Syamsuddin, seorang ilmuan ensiklopedik penemu konsep mikrobat dalam ilmu kedokteran. Di sinilah pengetahuan Muhammad II mendaki puncaknya, karena landasan teoritis yang dikuasai sejak dulu bertemu dengan ruang aplikasi untuk kemudian dievaluasi dalam majelis pengetahuan masjid Ibrahim Khaja.

Semua perjalanan pengetahuan ini adalah pengantar menuju penaklukan yang dirancang dengan sangat sistematis oleh Murad II. Ia sendiri meninggal muda dan bahkan tidak pernah menyaksikan anaknya mempersiapkan pasukan Ustmani menuju Konstantinopel. Tapi waktu realisasi itu tidak lama. Muhammad II menggantikan menjadi sultan di Edirne dalam usia 22 tahun dan hanya dalam waktu dua tahun ia melunasi hadits Nabi yang selama 8 abad belum berhasil dituntaskan generasi-generasi kuat terdahulu, baik generasi para penakluk daulah Umawiyyah atau generasi kemakmuran daulah Abbasiyyah.

Generasi-generasi sebelum Muhammad II al-Fatih mungkin sama kuat militernya, sama luas wilayah kekuasaanya, sama melimpah aset manusia dan alamnya, dan sama menggebu obsesi penaklukannya, tapi Murad II meretas jalan untuk mencetak generasi baru yang belum pernah ada dalam sejarah Islam. Yaitu generasi yang berpengetahuan tingkat tinggi dengan pemimpin terbaiknya. Pemimpin terbaik di zaman itu bukan hanya petarung, atau manajer, atau sastrawan, atau ahli fiqih, atau panglima, atau pemikir strategis, tapi pengetahuannya mencapai tingkat kepakaran nyaris di semua bidang.

Maka mudah saja, memahami semua kreasi strategi Muhammad Al-Fatih dalam proses penaklukan Konstantinopel, yang belum pernah terfikirkan generasi sebelumnya, seperti pembuatan meriam raksasa, mengangkat 70 perahu lewat darat sepanjang 3 mil, karena itu semua produk pemikiran berbasis pengetahuan. Bahkan andai strategi-strategi teknis itu gagal, generasi al-Fatih tidak akan kehabisan stok strategi dari gudang pengetahuannya. Bagaimana tidak? Rasulullah sendiri yang mendeskrisipsikan generasi penakluk itu “Konstantinopel benar-benar akan dibebaskan, pemimpin terbaik adalah pemimpin yang membebaskannya dan pasukan terbaik adalah pasukan yang bersamanya”. Dibalik setiap cerita kemenangan, selalu ada revolusi pengetahuan. Dan Muhammad Al-Fatih beserta generasinya adalah model yang paling sempurna untuk itu. (Edisi Lengkap Serial Pemuda bisa diakses di www.elvandi.com)

Muhammad Elvandi, LcIstanbul, 29 April 2013
Majalah Intima Edisi Mei 2013
Muhammad Elvandi, Lc
Lengkapnya Klik DISINI

Download Powerpoint Problematika Remaja dan Solusinya

Entah mengapa dalam kurun waktu kurang dari dua pekan ini, saya diminta mengisi ceramah tentang seputar Problematika Remaja di tiga tempat. Mungkin secara momentum saja bersamaan dengan Ujian Nasional sehingga sebagian siswa ada yang diliburkan karena ruangan digunakan untuk ujian, maka banyak dimanfaatkan untuk membuat kajian tentang remaja. Atau bisa juga karena salah satu faktor yang membuat banyak remaja berguguran dalam kelulusan UAN, karena terlibat dalam aneka ragam problematika remaja.

Remaja muslim adalah sasaran dan target utama dari seluruh upaya pembaratan. Trend ini sudah lama bergeser dari pemurtadan menjadi perubahan life style yang lama kelamaan menjadikan identitas keislaman remaja islam pudar begitu saja. Perasaan kebanggan dengan syiar, simbol dan tradisi Islam terhapus dengan tawaran ‘gaul’ ala anak muda yang mengharuskan sekian banyak ritual dan aksen yang benar-benar jauh dari Islam.

Serangkaian problematika dan bagaimana Islam memberikan solusinya coba kami paparkan, bukan saja untuk para remaja agar lebih waspada, namun juga kepada para orangtua agar menyadari dan lebih kuat dalam memberikan pengawasan dan arahan, yang tentu saja berbasis kasih sayang, bukan kekerasan. Kita senantiasa berdoa dalam hari-hari kita, untuk menjadikan anak istri sebagai qurrota a’yun (penyejuk mata dan hati), bahkan bukan hanya itu, namun juga menjadikan mereka sebagai pemimpin orang yang bertakwa.

Bagi sahabat yang gemar berbagi inspirasi dan motivasi seputar dunia Remaja, powerpoint berikut kami persembahkan, agar semakin luas kemanfaatan dan semoga menggerakkan dan membawa perubahan.

DOWNLOAD POWERPOINT PROBLEMATIKA REMAJA :

semoga bermanfaat dan salam optimis
Sumber : http://www.indonesiaoptimis.com/2012/04/download-powerpoint-problematika-remaja.html
Lengkapnya Klik DISINI

Sebuah Tim yang Kuat

Cecep Y Pramana (Cepy)
Ambisi dan kesabaran membuat tim menjadi kuat. Ambisi memberi kita dorongan dan antusiasme untuk mulai mendapatkan sesuatu, dan melalui kesabaran mereka akan melihatnya.

Tanpa ambisi, kita tidak akan pernah pergi. Dan tanpa kesabaran, kita akan menyerah jauh sebelum tujuan tercapai.

Bila kita memilih untuk mengembangkan dan mengaktifkan ambisi dan kesabaran kita, maka kita telah menciptakan sebuah kombinasi tanpa henti.

Karena hal itu tidak hanya akan menjadi efektif saja, melainkan sebuah efektivitas yang akan terus menerus diterapkan dari waktu ke waktu.

Dengan ambisi yang cukup, maka kita dapat membuat apa saja terjadi, walaupun hal itu tidak sesegera mungkin. Upaya yang paling efektif adalah dengan terus berusaha, dan itulah yang dapat membuat kesabaran.

Kita tidak harus memilih antara ambisi dan kesabaran. Karena kita dapat hidup dengan mereka berdua pada saat yang sama, dan ketika kita melakukannya, maka hal-hal besar yang akan terjadi.

Sukses datang pada mereka yang tahu kapan harus mendorong dan kapan harus menunggu. Keseimbangan sebuah usaha ambisius dengan mendalam, kesabaran yang mendasari, maka hasil yang kita capai akan benar-benar menakjubkan.

sumber : http://blogmotivasionline.blogspot.com/2013/05/sebuah-tim-yang-kuat.html
Lengkapnya Klik DISINI

Sadar Akan Potensi Diri

 potensimuslim
Kalo kita mau berpikir lebih dalam lagi tentang diri kita, tentunya kita bisa merasakan betapa lemahnya kita. Betapa ringkihnya kita sebagai manusia. Kalo ingin membayangkan gimana lemahnya kita, bisa kita mengkaji diri bahwa seteliti-telitinya kita, selalu aja ada celah kosong yang bisa membuat kita teledor. Sepandai-pandainya kita, selalu saja ada peluang untuk berlaku bodoh.

Tapi jangan khawatir, di balik kelemahan itu manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia. Potensi ini bahkan harusnya membuat kita lebih memahami dengan kondisi kita. Coba, dari jaman Nabi Adam diciptakan sampe sekarang ras manusia telah berhasil menciptakan berbagai kemajuan. Contoh kecil aja, apa pernah kita melihat kucing bisa membuat sepeda motor, terus makan dengan garpu (kecuali si Tom di film Tom and Jerry kali ye?), kemudian ada kucing yang sekolah sampe jenjang yang lebih tinggi. Belum pernah kita melihatnya atau mendengarnya kecuali kalo kita mau mengkhayal dalam sebuah cerita. Tapi manusia, banyak pencapaian yang berhasil diraihnya dari jaman ke jaman. Iya kan? Tentu saja itu juga berkat kemurahan Allah Swt. yang menjadikan manusia lebih mulia dari makhlukNya yang lain. Manusia diberi akal, sobat.

Allah Swt. menjelaskan dalam al-Quran: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS al-Israa’ [17]: 70)

Subhanallah, betapa besar cinta Allah kepada kita. Allah memberikan segalanya buat kita. Itu sebabnya, sangat wajar jika kita kudu pandai mengelola segala potensi hidup yang telah diberikan Allah Swt. Aneh bin ajaib kalo masih ada manusia yang nggak bisa memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Sangat heran pula jika pun pandai memanfaatkan potensi yang dimilikinya tapi salah dalam mengamalkannya. Misal, ia memiliki potensi kreativitas yang tak ada hentinya, tapi kreatif dalam rangka mencuri barang orang lain. Wah, itu namanya memanfaatkan di jalur yang salah dong ya?

Sobat muda muslim, jika kita memanfaatkan potensi kita, tentunya tidak lepas dari rasa syukur kita kepada Allah Swt. yang telah memberikan segalanya buat kita. Artinya, amalan kita dalam memanfaatkan potensi pun kudu benar sesuai tuntunan Allah Swt. Nggak bisa asal njeplak berdasarkan hawa nafsu kita. Nggak bebas en liar gitu tentunya.

Sebab, jangan lupa, apa yang kita lakukan nggak bakalan lepas dari pengamatan Allah Swt. Kalo di sekolah kita bisa ngibulin teman atau guru dengan berbohong, maka Allah nggak bakalan bisa dibohongi. Kalo di dunia ini para pembunuh bisa nyantai, bebas berkeliaran belum dihukum oleh negara, maka di akhirat ia pasti nggak bakalan lolos dari hukuman yang diberikan Allah Swt. Bahkan Allah Swt. tak akan pernah salah dalam mengkalkulasi amalan kita. Nggak bakalan ketuker masukin data. Allah Swt. pasti jeli, amalan kita yang baik akan ditaro di “folder” amalan baik. Begitu pun amalan buruk kita. Terus, terminal akhir di akhirat pun sudah jelas buat tiap-tiap manusia sesuai amalannya. Surga buat yang amal baiknya banyak, sementara neraka khusus untuk yang berbuat maksiat waktu di dunia.

Watau, ini kok ngomongnya pahala-dosa dan surga-neraka aja sih? Ya, biar kita takut. Biar kita benar-benar taat kepada Allah Swt. Karena sejatinya yang menciptakan surga dan neraka juga Allah Swt. Tempat itu pun sudah disiapkan oleh Allah untuk kita sesuai amalan kita. Semoga surga yang kita dapatkan.

Hmm…jadi inget lagunya Chrisye, “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya? Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau, menyebut namaNya?”

Sayangnya, meski surga dan neraka sudah jelas diterangkan keberadaannya di al-Quran oleh Allah Swt. banyak manusia yang tetap berbuat maksiat. Nggak ngikutin perintah Allah dan bahkan ogah menyembahnya. Aneh banget kan? Apalagi kalo surga dan neraka nggak ada? (eh, ini bukan bermaksud mengandai-andai lho)
Sebaiknya, memang kita sadar diri. Yuk, kita mengkaji al-Quran, mengkaji Islam lebih dalam. Memahami siapa diri kita, siapa pencipta kita. Karena apa? Karena kita manusia, yang memang banyak kekurangannya dibanding kelebihannya. Sebagai wujud rasa syukur kita, pantes banget deh kalo kita beribadah hanya Allah Swt. Bukan kepada yang lain. Wallahu’alam.

Salam,
O. Solihin

sumber
Lengkapnya Klik DISINI

Melepas Kegalauan Dengan Iman

Melepas Kegalauan Dengan Iman Seorang pemuda muslim nan taat itu tercenung. Wajahnya murung. Nampak jelas ada permasalahan berat yang menggelayuti hatinya. Seperti  buah simalakama, dan sungguh tak ia kira sebelumnya. Ayah yang dicintainya sepenuh hati, ternyata mengambil sikap kurang terpuji. Dia menelikung kaum muslimin dengan fitnahan yang keji. Akibatnya, terdengar kabar santer bahwa ayahnya akan dibunuh, sebagai hukuman atas perbuatannya. Sebagai anak, alangkah sedih hatinya. Tak dapat ia bayangkan jika ayahnya dibunuh. Namun sebagai muslim yang taat, dia juga sangat malu dengan perbuatan ayahnya. Ini benar-benar simalakama! Persoalan pelik ini membuat dia galau luar biasa.

Lama ia berpikir dan merenung. Kegalauannya yang sangat membuat ia memutuskan untuk segera menghadap pada sang pemimpin tertinggi, Rasulullah SAW. Di hadapan rasul, dengan mengumpulkan seluruh kekuatan batinnya, dia lirih berkata, “Wahai Rasulullah. Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa Anda ingin membunuh ayahku karena konspirasi yang Anda dengar darinya. Demi Allah, kaumku mengetahui bahwa mereka tidak memiliki orang yang lebih berbakti kepada orang tuanya, selain aku. Sesungguhnya aku takut, bila Anda menyuruh orang lain untuk membunuh ayahku, maka jiwaku akan tidak kuat melihatnya berjalan bebas di tengah kaum muslimin, hingga aku membunuhnya untuk balas dendam. Jika demikian ya Rasul, aku akan menjadi pembunuh seorang mukmin karena dia membunuh seorang kafir, dan akhirnya aku masuk neraka.”

Terdiam sejenak, lalu setelah menghela nafas panjang, dia menguatkan diri untuk berkata, “Oleh karena itu, ya Rasulullah, bila Anda, mau tidak mau harus mengambil kebijakan itu, maka perintahkanlah tugas itu kepadaku. Pasti aku akan membawa kepalanya kepadamu.

Kini, sebongkah beban berat di hatinya seperti terangkat sudah. Tak tahu lagi dia harus bersikap bagaimana, selain mengadu tentang kegalauan hatinya, kepada pemimpin yang ia anggap akan bijak menyikapi permasalahannya.

Mendengar penuturan si pemuda, dengan lembut Rasulullah berkata, “Tidak, nak. Bahkan kami akan bersikap lembut kepadanya, dan berlaku baik kepadanya dalam bergaul, selama dia masih hidup berdampingan dengan kita.

Mendengar jawaban Rasulullah, meneteslah air mata si pemuda. Ayahnya selamat, tidak akan dibunuh. Meskipun ia sangat malu dengan tindakan ayahnya, dia masih ingin ayahnya hidup bersamanya. Dia masih ingin berbakti padanya, dan siapa tahu seiring waktu ayahnya akan bertaubat, mengakui kekeliruannya.

Ini pelajaran pertama. Pemuda itu, meskipun namanya tak begitu dikenal dalam sejarah, sesungguhnya telah memberikan pelajaran sangat berharga pada kita semua. Tentang mengatasi rasa galau, yang sering kali menghinggapi jiwa para pemuda. Kegalauan yang sifatnya sangat manusiawi, namun karena cahaya Islam telah menyelimuti hatinya, maka dia berani mengambil keputusan yang luar biasa: menawarkan diri sebagai algojo pembunuh ayahnya! Ketaatannya pada Islam mampu membuat dia berpikir jernih, di tengah gejolak hati yang hebat berkecamuk. Wahai, apakah kita para pemuda di jaman ini, sanggup memiliki sifat ksatria seperti ini?

Tak berhenti di sini.  Saat hampir memasuki Madinah, si pemuda berjaga di depan gerbang. Dia siaga menghunus pedangnya, meneliti satu-persatu orang yang yang akan masuk Madinah. Ketika dia temukan wajah ayahnya, yang sangat ia cintai, ada diantara rombongan, tegas ia berkata sambil menghunuskan pedangnya, “Kembalilah ayah ke belakang!

Ayahnya, tentu terlonjak kaget. Tak menyangka anaknya berani melakukan perlawanan. Lebih membela Rasul daripada ayahnya. Spontan Ayahnya berkata, “Memang siapa kamu kok melarang ayahmu masuk? Kasihan sekali ya kamu itu.

Sang anak dengan tegas menjawab, “Demi Allah, Ayah tidak boleh melewati tempat ini, hingga Rasulullah mengijinkanmu masuk. Karena sesungguhnya, beliaulah yang lebih kuat dan perkasa sedangkan engkau adalah orang yang lebih lemah dan lebih hina.

Ucapan nan sederhana, namun telak. Membalikkan fitnahan yang terlontar keji dari mulut sang ayah, yang jauh hari sebelumnya dengan pongah berkata, “Apakah mereka (kaum muhajirin) telah berlepas dari diri kita dan merasa lebih banyak dari kita, di negeri kita sendiri? Demi Allah, kita tidak membekali diri kita dan kantong2 orang Quraisy melainkan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang terdahulu, “gemukkanlah anjingmu, maka ia pasti memakanmu’. Oleh karena itu, demi Allah, bila kita telah kembali pulang ke Madinah, maka benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya”.

Ucapan yang membuat panas telinga kaum muslimin. Ucapan yang membuat Umar yang duduk di samping Rasul saat ada aduan tentang ucapan tersebut, segera bereaksi, “Ya Rasul. Perintahkan Abbad bin Bisyr untuk membunuhnya”. Namun dijawab Rasul dengan lembut, “Lalu bagaimana wahai Umar, bila orang-orang lalu berkata bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya?”

Duhai siapa dia, sang pemuda yang begitu mengagumkan dalam mengatasi kegalauannya? Dialah Abdullah, anak dari Abdullah bin Ubay, seorang tokoh Madinah yang disegani. Tokoh yang hampir saja mendapatkan mahkota penguasa, andai Rasul tidak hijrah ke Madinah. Tokoh yang membuat sebab turunnya ayat-ayat yang terbungkus dalam satu surat, dengan nama yang membuat tubuh bergidik; Surat Al-Munafiqun. Ya, surat yang khusus ditujukan pada Abdullah bin Ubay dan komplotannya, tapi tentu bukan untuk anaknya yang sangat taat.

Pelajaran kedua. Mari lihatlah ucapan pongahnya. Ucapan yang menjadi sebab turun ayat. Ucapan yang membuat geram kaum muslimin dan berhak membunuhnya, andai mau. Lalu mari bandingkan ucapan itu dengan ucapan-ucapan jaman kini. Terlihat, ucapan Abdullah bin Ubay terlihat masih ‘mendingan’. Tapi itu pun telah berefek luar biasa. Lalu bagaimana dengan ucapan-ucapan kita sendiri? Merasa muslim, lalu seenaknya memaki, merasa sebagai orang yang paling baik? Sungguh jerat-jerat kemunafikan bersiap menghadang, jika kita tak hati-hati. Berangkat dari hati yang sakit, lalu lisan menjadi pembantu setia untuk mengeluarkan kata-kata keji. Sementara, ayat Quran tentu takkan pernah turun lagi, untuk menjelaskan siapa saja yang munafik.  Maka, pantaslah Allah mengancam sifat kemunafikan dengan siksaan abadi di keraknya neraka. Karena perilaku munafik yang menelikung, seolah-olah ada dalam barisan tapi menggunting dalam lipatan. Sulit sekali dicari celah salahnya, karena terbungkus dalam kata-kata dan perilaku licin berbisa. Mari, bersama kita hati-hati menyikapi. Juga dengan sepenuh doa, agar kita terhindar dari sifat munafik. Juga doa sepenuh pasrah, saat ada badai kemunafikan memutarbalikkan fakta sedemikian rupa. Karena doa, bagi orang-orang yang teraniaya, tidak ada lagi pembatas antara dirinya dengan Rabb-nya.

Allahumma arinal haqqo haqqon, war zuqnat tibaa’ah. Wa arinal bathila bathilan, warzuqnaj tinaabah.

Lengkapnya Klik DISINI

"Kita Akan Dimenangkan Allah"

Foto: "Kita Akan Dimenangkan Allah"

Dakwah ini adalah proyeknya Allah, dan kita hanyalah pelaksananya saja. Kalau langkah-langkah kita sesuai dengan irsyadat (bimbingan) dan taujihat (arahan-arahan) rabbaniyyah wa-nnabawiyah (Rabb dan Nabi), kita akan dimenangkan oleh Allah SWT, insya Allah…

Karena dengan selalu disiplin terhadap manhaj rabbani, dengan taujihat rabbaniyyah, irsyadat rabbaniyah yang diberikan Al-Qur’an dan sunnah, maka kita sebelum dinilai menjadi pemenang di hadapan manusia, insya Allah telah dinilai menjadi pemenang di hadapan Allah.

Ikhwan wa akhwat fillah…meraih kemenangan di mata Allah harus menjadi target utama dan pertama sebelum meraih kemenangan menurut penilaian manusia. Na’udzubillah, kalau meraih kemenangan menurut penilaian manusia, sementara kalah menurut penilaian Allah, maka faqad khasira khusraanan mubiina. Rugi serugi-ruginya.

Saya pernah menjelaskan rumusan kemenangan rabbani yang sangat sederhana, seperti disampaikan oleh Imam Ahmad bin Hambal yang mengatakan bahwa definisi kemenangan itu adalah ‘Maa laazumul haqqu qulubana’ artinya: ‘selama kebenaran masih tetap kokoh di dalam hati kita.” Luzumul haq fi qulubina, itulah kemenangan. Itulah intishar. Itulah keberhasilan. Dalam percaturan, pertempuran, apakah ma’rakah siyasiyah, ma’rakah fikriyah, atau ma’rakah intikhabiyah, bentuknya apakah Pilkada di Kabupaten, Kota, Provinsi, Pemilu Nasional, Legislatif atau Presiden, pertama-tama yang harus diraih adalah kemenangan menurut penilaian Allah.

Insya Allah, jika kita dinilai Allah sebagai pemenang, Allah akan memberikan kemenangan yang dinilai oleh manusia. Itu rumusan dasar yang harus kita pegang. Jangan sampai target kemenangan-kemenangan pilkada atau pemilu nasional, membuat kita kalah menurut perhitungan Allah SWT. Kalah karena godaan-godaan jabatan jadi gubernur, bupati, walikota, bahkan presiden. Menang menurut manusia, kalau kemudian dalam posisi itu adalah hasil kecurangan, kezaliman dan ketamakan, maka maghlub ‘indallah, itu kalah menurut Allah.

Sebab ada inkhila-ul haq minal qalb, tercabutnya kebenaran dari hati. Tercerabutnya amanah dari hati. Inkhila-ul shidq, tercerabutnya kejujuran dari hati. Itu adalah kekalahan di sisi Allah. Tentu semua itu tidak kita inginkan. Karena itu kader-kader yang sudah memasuki lembaga-lembaga Negara, yang jadi gubernur atau wagub, atau walikota, atau wakil, agar mempertahankan kemenangan di sisi Allah dalam posisi itu. Agar tetap mustahiq (berhak) mendapatkan kemenangan berikutnya di arena perjuangan dan pergaulan antar manusia. ***


Oleh: Ust. Hilmi Aminuddin

Oleh: Ust. Hilmi Aminuddin
Dakwah ini adalah proyeknya Allah, dan kita hanyalah pelaksananya saja. Kalau langkah-langkah kita sesuai dengan irsyadat (bimbingan) dan taujihat (arahan-arahan) rabbaniyyah wa-nnabawiyah (Rabb dan Nabi), kita akan dimenangkan oleh Allah SWT, insya Allah…

Karena dengan selalu disiplin terhadap manhaj rabbani, dengan taujihat rabbaniyyah, irsyadat rabbaniyah yang diberikan Al-Qur’an dan sunnah, maka kita sebelum dinilai menjadi pemenang di hadapan manusia, insya Allah telah dinilai menjadi pemenang di hadapan Allah.

Ikhwan wa akhwat fillah…meraih kemenangan di mata Allah harus menjadi target utama dan pertama sebelum meraih kemenangan menurut penilaian manusia. Na’udzubillah, kalau meraih kemenangan menurut penilaian manusia, sementara kalah menurut penilaian Allah, maka faqad khasira khusraanan mubiina. Rugi serugi-ruginya.

Saya pernah menjelaskan rumusan kemenangan rabbani yang sangat sederhana, seperti disampaikan oleh Imam Ahmad bin Hambal yang mengatakan bahwa definisi kemenangan itu adalah ‘Maa laazumul haqqu qulubana’ artinya: ‘selama kebenaran masih tetap kokoh di dalam hati kita.” Luzumul haq fi qulubina, itulah kemenangan. Itulah intishar. Itulah keberhasilan. Dalam percaturan, pertempuran, apakah ma’rakah siyasiyah, ma’rakah fikriyah, atau ma’rakah intikhabiyah, bentuknya apakah Pilkada di Kabupaten, Kota, Provinsi, Pemilu Nasional, Legislatif atau Presiden, pertama-tama yang harus diraih adalah kemenangan menurut penilaian Allah.

Insya Allah, jika kita dinilai Allah sebagai pemenang, Allah akan memberikan kemenangan yang dinilai oleh manusia. Itu rumusan dasar yang harus kita pegang. Jangan sampai target kemenangan-kemenangan pilkada atau pemilu nasional, membuat kita kalah menurut perhitungan Allah SWT. Kalah karena godaan-godaan jabatan jadi gubernur, bupati, walikota, bahkan presiden. Menang menurut manusia, kalau kemudian dalam posisi itu adalah hasil kecurangan, kezaliman dan ketamakan, maka maghlub ‘indallah, itu kalah menurut Allah.

Sebab ada inkhila-ul haq minal qalb, tercabutnya kebenaran dari hati. Tercerabutnya amanah dari hati. Inkhila-ul shidq, tercerabutnya kejujuran dari hati. Itu adalah kekalahan di sisi Allah. Tentu semua itu tidak kita inginkan. Karena itu kader-kader yang sudah memasuki lembaga-lembaga Negara, yang jadi gubernur atau wagub, atau walikota, atau wakil, agar mempertahankan kemenangan di sisi Allah dalam posisi itu. Agar tetap mustahiq (berhak) mendapatkan kemenangan berikutnya di arena perjuangan dan pergaulan antar manusia. ***



sumber : PKSpiyungan.

Lengkapnya Klik DISINI

Menjadi Akhwat Tangguh

apakah mereka yang slalu berbuat baik itu tak pernah "terluka"

ah kawan.. boleh jadi mereka lah yang paling banyak terluka di "jalan ini"
bahkan mungkin hati mereka sudah tak utuh lagi.. tercabik dan terkoyak di sana-sini..

lalu mengapa mereka terus menebar kebaikan..?
karena yang mereka cintai adalah Allah… bukan dirinya sendiri…

[Sarwo Widodo Arachnida]

“3 hari sesudah menikah… kami pun hidup terpisah…” ucapnya dengan suara datar.
“Subhanallah…artinya sejak itu anti di Jakarta dan suami di Jawa Timur...? ” tanya Murobbiyah saya untuk meyakinkan.
“Benar…” jawab akhwat tersebut dengan penuh keyakinan tanpa penyesalan.

Itu sepenggal kisah yang dibagi murabbiyah saya saat duduk bersama di Masjid Islamic Center, pagi itu. Kisah tentang salah seorang akhwat pembimbing anak-anak calon penghafal Al Qur’an di Markaz Utrujah yang dirintis oleh DR. Sarmini Lc. MA. Seorang Akhwat tangguh yang berani mengambil pilihan memenangkan Allah dan dakwah di atas kesenangan pribadinya. Beliau lebih memilih mendampingi anak-anak menghafal setiap ayat demi ayat Al Qur’anul Karim dengan konsekuensi harus terpisah jarak dengan sang suami. Beliau lebih memilih bersabar untuk tidak berjumpa dengan suami yang dicinta demi mengantarkan bocah-bocah calon penghafal Al Qur’an itu menjadi generasi Robbani yang akan menjayakan dan memuliakan Islam dengan Al Qur’an. Sebuah pilihan yang tak mudah memang, tapi beliau telah membuat keputusan.

Dari pribadi–pribadi berjiwa tangguhlah selayaknya kita mengambil teladan. Sebab dalam hidup akan ada begitu banyak tantangan yang mesti kita hadapi. Sebab dalam hidup tak sedikit “persimpangan jalan” yang bakal memaksa kita untuk membuat pilihan dan keputusan. Sebab dalam hidup terlampau sering manusia “dipaksa” menjadi lebih kuat agar tidak mengalah pasrah saat menghadapi masalah.

Dari pribadi–pribadi berjiwa tangguh kita belajar, belajar terus menebar kebaikan. Mereka tak hidup untuk dirinya sendiri tapi juga menghidupkan dan memberi manfaat pada sekitarnya. Mereka percaya dengan penuh keyakinan jika di setiap langkah hidup yang mereka tempuh itu demi Allah dan dakwahNya, maka tak pernah akan ada yang sia- sia. Allah Maha Melihat dan malaikatpun tak akan lalai mencatat.. Mereka sepenuhnya mengimani firmanNya :

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (QS. Ar-Rahman: 60)

Jika sebuah pilihan yang tak mudah telah diambil, benturan dan luka adalah sebuah keniscayaan. Bentuknya bisa jadi berupa perasaan tidak nyaman, godaan keikhlasan, cacian dan celaan, rasa tidak puas serta tuntutan berlebihan dari lingkungan hingga lintasan hati untuk menghentikan perjuangan. Mungkin tidak cukup sekali, dua kali, tiga kali, bahkan mungkin akan berkali-kali benturan dan luka yang akan terjadi. Tapi pribadi berjiwa tangguh tak terlalu risau dengan segala luka dan kepahitan itu. Mereka lebih memilih Allah dari pada sekedar rasa nyaman. Mereka memilih untuk menjadi kuat sebab mereka tahu Allah yang akan memampukan dan menguatkan mereka dengan pertolonganNya.

”…dan merupakan hak Kami, untuk Menolong orang-orang yang beriman…” (QS. Ar-Rum 47)

“Yang pasti modal awalnya azzam yang kuat… kemudian jiddiyah… bersungguh-sungguh…” kata murabbiyah saya sambil menepuk lembut lutut mutarabbi yang sedang bersila di sampingnya. “Akhwat tadi bisa… Bu Sarmini juga bisa… antipun pasti bisa…” sambungnya menguatkan. Tiba–tiba… serasa sebuah pilihan dihamparkan di hadapan saya. Pilihan menjadi tangguh atau pengeluh…? Menjadi gagah atau kalah…? Pilihan pertama lebih indah sepertinya… bagaimana menurut kalian..? [Kembang Pelangi]

sumber : bersamadakwah.com 
Lengkapnya Klik DISINI

Dakwah di Kedai-kedai Kopi

 Hasan Al Banna
Tibalah saatnya untuk prakte setelah sekian lama menggelutdunia keilmuan. Saya menawarkan kepada teman-teman agar keluar untuk menyampaikan khotbah atau ceramah di kedai-kedai kopi. Teman-teman merasa heran seraya berkomentar, “Para pemilik kedai kopi  tentu tidak akan mengijinkan hal ini. Mereka pasti akan menolakny, karena dapat mengganggu pekerjaan mereka. Disamping itu, kebanyakan dari para pengunjung kedai kopi adalah orang-orang yang hanya memikirkan apa yang sedang mereka nikmati. Bagaimana kita mesti berbicara tentang agama dan akhlak di hadapan orang-orang yang hanya memikirkan kesenangan duniawi seperti yang sedang mereka nikmati itu?”

Saya berbeda pendapat dengan teman-teman ini. Saya meyakini bahwa kebanyakan orang yang berada di kedai kopi siap mendengarkan nasihat dari pihak lain, termasuk dari kalangan aktivis masjid, sebab kegiatan ini merupakan sesuatu yang unik, langka dan baru bagi meremeka.  Kita tidak perlu menyampaikan sesuatu yang dapat melukai perasaan mereka. Kta harus menyampaikan dengan metode yang tepat, dengan gaya yang menarik, dan dalam waktu yang singkat.

Ketika terjadi perdebatan yang panjang seputar masalah ini, saya katakan kepada teman-teman, “Mengapa perconaan ini tidak kita jadikan saja sebagai ‘hakim’ dalam persoalan tersebut?” Akhirnya, teman-teman pun menerima usulan saya. Kami pun akhirnya keluar untuk melakukan apa yang telah kami rencanakan. Kami awali dengan mengunjungi beberapa kedai yang terletak di kompleks Shalahudin. Selanjutnya di kedai-kedai kopi yang tersebar di wilayah Thulun, sehingga akhirnya-melalui jalan berbukit-sampai di Jalan Salamah dan Jalan Sayidah Zainab. Saya perkirakan dalam waktu semalam itu saya dapat menyampaikan lebih dari dua puluh kali ceramah. Setiap ceramah menghabiskan waktu antara lima hingga sepuluh menit.

Ternyata para pendengar sangat takjub. Mereka semua terdiam mendengarkan ceramah dengan seksama. Para pemilik kedai pada mulanya seperti kurang berkenan, namun setelah itu mereka justru minta agar ceramah ditambah lagi. Mereka ingin agar setelah menyampaikan ceramah, kami minum-minum terlebih dulu, atau mintapa saja yang diinginkan. Namun dengan halus kami tolak kami memintamaaf kepada mereka karena tidak bisa memenuhi kemauannya dengan alasan sempitnya waktu. Kami memang telah berjanji kepada diri sendiri untuk mengoptimalkan penggunaan waktu untuk Allah. Karenanya kami tidak ingin memanfaatkannya untuk yang lain. Sikap kami ini dapat memberikan pengaruh yang cukup besar bagi jiwa mereka. Tak perlu heran, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah mengut seorang rosul atau nabi, kecuali moto pertamanya adalah: “Katakanlah, ‘Sya tidak akan meinta upah atas kalian atas dakwah ini.’” Kesucian niat inilah yang memberikan pengaruh yang positf dalam jiwa para mad’u (objek dakwah).

Percobaan ini ternaya berhasil seratus persen. Selanjutnya kami kembali ke tempat kami di Syaikhun. Kami sangat gembira dengan keberhasilan ini dan bertekad untuk meneruskan perjuangan di lahan lain. Kami selalu berusaha memberikan nasihat praktis yang aplikatif kepada semua orang melalui metode semacam ini. Ini merupakan komitmen kami. Di dalam aktivitas ini, saya menemukan ‘hiburan’ tersendiri bersamaan dengan absen saya dari Jam’iyyah Al-Hasyafiyah, yang gregetnya mulai meluntur di Mahmudia,meskipun para anggotanya masih terus mempererat persaudaraan, saling bekerjasama untuk Islam, serta masih dipersatukan oleh Tarekat Hashafiyah untuk tetap melaksanakan aktivitas ibadah, dzikir dan beramar ma’ruf nahi mungkar. Selanjutnya dari waktu ke waktu ekspedisi Inggris itu mampu membangkitkan rasa fanatisme ke dalam jiwa mereka. Inggris telah meletakkan tongkatnya dan bercokol di negeri yang aman ini; negeri yang sebelumnya tidak pernah tertimpa oleh bencana sedasyat ini. Pantasnya ekspedisi seperti itu tertuju ke ngeri-negeri paganis, bukannya mendiami negeri-negeri kaum muslimin, karena mereka adalah manusia-manusia yang keimanannya paling benar, ketauhidannya kepada Allah paling lurus, hatinya paling bersih danjiwanya paling sehat. Hanya Allah-lah yang berhak mengatur segala urusan makhluk-Nya.


Lengkapnya Klik DISINI

Menjadi Sahabat Terbaik Untuk Pasangan Hidup

Menjadi Sahabat Terbaik Untuk Pasangan HidupPertama kali, saya ajak Anda menyimak kembali kisah yang dibacakan Torey Hayden kepada Sheila, dalam buku Sheila, Luka Hati Seorang Gadis Kecil, halaman 219 – 226, dalam judul The Little Prince.
* * *
Pangeran Kecil hidup sendirian dalam sebuah planet kecil, bersama sebatang tanaman mawar yang sangat dirawatnya. Ketika Pangeran Kecil berjalan-jalan melihat mawar liar, ia bertemu rubah seekor rubah.
“Kemari, bermainlah denganku,” kata Pangeran Kecil, “Aku sangat sedih”.

“Aku tidak bisa bermain denganmu,” kata rubah, “Aku belum dijinakkan.”
“Ah, maafkanlah aku,” kata Pangeran Kecil, tapi setelah berpikir beberapa saat, dia menambahkan, “Apa artinya itu –menjinakkan?”
“Itu adalah tindakan yang sering diabaikan,” kata rubah. “Menjinakkan artinya menjalin ikatan.”
“Menjalin ikatan?”

“Begitulah,” kata rubah. “Bagiku, kamu saat ini tidak lebih dari seorang bocah kecil yang sama saja dengan ribuan bocah kecil lainnya. Dan aku tidak membutuhkanmu. Dan kamu sendiri tidak membutuhkan aku. Bagimu, aku tidak lebih dari seekor rubah seperti ratusan ribu rubah lainnya.Tapi jika kamu menjinakkan aku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku kamu akan menjadi satu-satunya di dunia. Bagimu, aku akan menjadi satu-satunya di dunia..”
“Hidupku sangat membosankan,” kata rubah.

“Aku berburu ayam, manusia memburuku. Semua ayam sama saja dan semua manusia sama juga. Dan akibatnya aku jadi bosan. Tapi jika kamu menjinakkan, akan terasa seolah matahari menyinari hidupku. Aku akan mengenali suara langkah yang terdengar berbeda dari semua langkah lain. Langkah-langkah lain akan mendorongku bergegas kembali ke bawah tanah. Tapi langkahmu akan memanggilku, seperti musik, keluar dari persembunyianku. Dan coba lihat: Kamu lihat ladang gandum jauh di sana? Aku tidak makan roti. Gandum tidak ada manfaatnya bagiku. Ladang gandum tidak punya arti apa-apa bagiku. Dan itu menyedihkan. Tapi rambutmu berwarna emas. Pikirkan betapa indah jadinya nanti jika kamu telah menjinakkan aku!”

“Butir-butir gandum yang juga berwarna keemasan, akan membuatku ingat kepadamu. Dan aku akan sangat senang sekali mendengarkan suara angin yang meniup butir-butir gandum..”
Lama rubah itu menatap sang Pangeran Kecil.
“Tolong, jinakkan aku!” katanya.

“Aku ingin, ingin sekali,” sahut Pangeran Kecil. “Tapi aku tidak punya banyak waktu. Ada banyak teman yang harus kucari, dan banyak hal yang harus kumengerti.”
“Orang hanya bisa mengerti hal-hal yang dijinakkannya,” kata rubah. “Manusia tidak punya waktu lagi untuk mengerti apapun. Mereka membeli barang yang telah tersedia di toko. Tapi dimana-mana tidak ada toko yang menjual persahabatan, dan karenanya manusia tidak punya teman lagi. Jika kamu ingin punya teman, jinakkan aku..”

“Apa yang harus kulakukan untuk menjinakkan kamu?” tanya Pangeran Kecil. “Kamu harus sabar sekali,” sahut rubah. “Pertama-tama kamu duduk agak jauh dariku –seperti itu– di atas rumput. Aku akan memandangmu dari sudut mataku, kamu tidak boleh bilang apa-apa. Kata-kata adalah sumber kesalahpahaman. Tetapi kamu akan duduk lebih dekat padaku setiap hari..”

Maka Pangeran Kecil menjinakkan rubah. Ketika waktu perpisahan hampir tiba,
“Ah,” kata rubah, “Aku akan menangis”

“Itu salahmu sendiri, aku tidak pernah berkeinginan untuk mencelakaimu. Sama sekali. Tetapi kamu ingin aku menjinakkan kamu..”
“Ya memang begitu,” kata rubah.
“Tapi sekarang kamu akan menangis !” kata Pangeran Kecil.
“Ya memang begitu,” kata rubah.
“Jadi itu tidak mendatangkan kebaikan bagimu sama sekali!”
“Itu baik untukku,” kata rubah. “Karena warna ladang gandum itu.” Lalu ia menambahkan:

“Pergi dan lihatlah lagi bunga-bunga mawar itu. Kamu akan mengerti sekarang bahwa bungamu adalah satu-satunya di seluruh dunia. Lalu kembalilah dan ucapkan selamat tinggal padaku, dan aku akan memberimu hadiah sebuah rahasia.”
Pangeran Kecil pergi untuk melihat lagi bunga-bunga mawarnya.

“Kamu sama sekali tidak seperti bunga mawar milikku,” katanya pada bunga-bunga mawar. “Jadi kamu tidak ada artinya. Tidak ada yang menjinakkan kamu, dan kamu tidak menjinakkan siapa-siapa. Kamu seperti rubahku ketika pertama kali aku mengenalnya. Dia hanya seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tapi aku telah menjadikannya temanku, dan kini ia menjadi satu-satunya di seluruh dunia.”
Dan mawar-mawar itu sangat pemalu.

“Kamu cantik, tapi hampa,” lanjutnya, “Tidak ada yang bersedia mati demi kamu. Tentu, orang yang lewat akan mengira bahwa bunga mawarku tampak persis seperti kamu mawar yang kumiliki. Tapi hanya dialah yang lebih penting dari ratusan ribu mawar lainnya: sebab dialah yang kulindungi di balik tabir, karena demi dialah aku membunuh ulat (kecuali dua atau tiga diantara mereka yang kami selamatkan agar menjadi kupu-kupu). Karena dialah aku mau mendengarkan, ketika dia mengomel atau membual, atau bahkan kadang-kadang ketika dia tidak bilang apa-apa. Karena dia adalah mawarku.”
Dan dia kembali untuk menemui rubah.
“Selamat tinggal,” katanya.

“Selamat jalan,” kata rubah, “Dan sekarang inilah rahasiaku, rahasia yang sangat sederhana: hanya dengan inilah orang bisa melihat dengan benar: Hal apa yang terpenting itu tidak bisa dilihat dengan mata.”

“Apakah yang terpenting yang tidak dapat dilihat dengan mata?” ulang Pangeran Kecil supaya dia yakin akan bisa mengingatnya.

“Waktu yang telah kamu habiskan untuk mawarmu itulah yang membuat mawarmu begitu penting.”

“Waktu yang aku habiskan untuk mawarku..” kata Pangeran Kecil supaya dia yakin akan bisa mengingatnya.

“Manusia telah melupakan kebenaran ini., ” kata rubah. “Tapi kamu tidak boleh melupakannya. Kamu bertanggungjawab selamanya terhadap apa yang telah kamu jinakkan. Kamu bertanggungjawab kepada mawarmu..”
* * *
Sepertinya ada hal-hal menarik yang bisa kita petik dari kisah tersebut. Bahkan bisa kita kembangkan lebih jauh dan lebih luas dalam konteks relasi suami dan isteri.
Sesungguhnya persahabatan menjadikan seseorang atau sesuatu menjadi istimewa di antara yang lain. Sang rubah menjadi satu-satunya dari ratusan ribu rubah lainnya. Dan sang mawar juga demikian bagi Pangeran Kecil. Anda dapat menjadi yang istimewa dan satu-satunya bagi pasangan anda. Dan sebaliknya, jadikan ia merasa istimewa dan satu-satunya bagi anda.

Untuk menjalin persahabatan, seseorang rela berkorban melakukan apa saja. Persahabatan membutuhkan kesabaran. Anda butuh kesabaran untuk membangun persahabatan dengan pasangan anda.

Waktu yang kita habiskan bersama sahabat adalah sesuatu yang sangat berharga yang tidak bisa dilihat dengan mata. Waktu yang Anda lewatkan bersama pasangan, adalah waktu yang sangat berharga.

Persahabatan akan membawa kesedihan ketika terjadi perpisahan, dan itu wajar. Namun karena spesial, seorang sahabat takkan pernah dilupakan dan senantiasa menyenangkan mengingatnya, dan mengingat segala sesuatu yang mengingatkan pada sahabat, seperti warna ladang gandum. Bahkan menjadikan hal-hal lain yang berhubungan dengannya menjadi bermakna.

Begitulah, Anda dapat pula menjalin persahabatan yang istimewa dengan pasangan Anda. Maka menjadi menyenangkan untuk mengingat segala hal yang berkaitan dengan pasangan Anda. Semoga pasangan Anda pun demikian ketika menganggap Anda sebagai sahabatnya.

Oleh: Ida Nur Laila
Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......