Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Tom Abercrombie, Fotografer Mualaf Kebanggaan National Geographic

Tom Abercrombie | Foto: www.republika.co.id
Tom Abercrombie adalah fotografer yang diakui sangat mumpuni kebanggaan National Geographic. Sebagai seorang mualaf, ia menjadi jembatan perdamaian antara dunia Islam dan dunia barat.

Bagi yang belum tahu Abercrombie, semoga kisah perjalanannya menjadi inspirasi tentang betapa indahnya perjuangan untuk perdamaian, dan bukan saling membenci karena perbedaan ras, suku, atau agama.

Thomas J. Abercrombie, lahir 13 Agustus 1930 di Stillwater, Minnesota. Di negara bagian inilah ia bertumbuh dan memulai karirnya sebagai fotografer profesional. Awalnya, saat Abercrombie di usia 15 tahun melihat parade Lumberjack Days, iring-iringan pilot yang baru kembali dari Perang Dunia II.

Kebetulan kakaknya, Bruce termasuk dalam rombongan pilot. Dan, ia membawa kamera Leica yang dibeli di Italia. Dari kamera milik kakaknya inilah, Abercrombie mulai memotret segala hal, termasuk foto pertamanya adalah foto sang pacar, Lynn.

Pensiun dini dari Angkatan Bersenjata karena jamur di kakinya, membawa Abercrombie ke depan meja redaktur foto National Geographic Society di tahun 1956. Kemudian, mulailah petualangannya di dunia fotografi. Liputan berita soal Fargo Forum dan Milwaukee Journal mengantarnya sebagai penerima penghargaan Newspaper Photographer of The Year.

Sebagai fotografer majalah NatGeo membawa Abercrombie berangkat ke Timur Tengah. Ia sempat mewawancari Presiden Lebanon, Camille Chamoun yang membuat sang presiden menjadi kagum setelahnya. Presiden ini sebelumnya terkenal sangat kaku, namun perjumpaan dengan Abercrombie mengubah tabiatnya. Abercrombie  berhasil ‘masuk’ ke dalam kegiatan pribadi Presiden, ia mengabadikan gambar sang Presiden bersama istrinya sedang bersantai di bawah pohon.

ooOoo

Tom Abercrombie memang dikenal punya rasa ingin tahu yang tinggi, dan tidak terburu-buru menghadapi orang, sehingga lebih mudah mendekati dan mengambil kepercayaan seseorang agar mau dipotret dan ditulis. Sebagai contoh, saat di Afghanistan Timur, ia harus memotret buzkashi, olah raga tradisional Afghanistan menggunakan kuda. Abercrombie ikut terlibat dalam perolombaan, dan hasilnya ia mendapat banyak gambar yang indah.

Bukan semata fotografer, Abercrombie juga memiliki kenekadan serta keahlian di atas rata-rata. Hanya dengan pisau saku, ia pernah mengamputasi jari kaki seorang peziarah di Tibet yang terkena gangre. Ia juga pernah mengoperasi korban gempa di Iran, dan itu dilakukan seorang diri.

Selama berkelana ke Timur Tengah, Tom belajar banyak bahasa, dan ia menguasai bahasa Arab, Jerman, Perancis, serta Spanyol. Ia dapat membaca Al Quran, dan selalu menggunakan nama Omar dalam perjalanannya di kawasan Arab.

Mungkin inilah saat ia akhirnya mendapat hidayah, kemudian memeluk Islam. Namun, ia tetap berpegang pada ‘diam’ yang tak pernah menggembar-gemborkan soal kepercayaan barunya tersebut. Baginya, perbuatan lebih penting daripada seribu kata-kata.

Saat memotret dan menulis The Sword and The Sermon (pedang dan khotbah), Abercrombie pergi ke Kazakhstan mengunjungi sebuah masjid di Alma Ata dan sholat Jumat di sana.

“Saya memperkenalkan diri pada sheikh di sana. Sambil kami berbicara bahasa Arab, jamaah orang Kazakhstan tua yang jumlahnya makin membesar, mulai berkumpul mengeliling kami. Ketika saya memperlihatkan foto-foto Mekkah dan ibadah haji, mereka hampir menangis. Banyak yang mengusap baju saya lalu menyapu muka mereka dengan mendapatkan berkah dari seorang haji. Saya menjadi sangat emosional,” ceritanya seperti dimuat dalam National Geographic.

Ya, Abercrombie telah membuka mata dua pihak. Di satu sisi, ia menyadarkan orang-orang Islam garis keras, bahwa masih banyak orang-orang di barat sana yang membuka tangan terhadap Islam. Serta, ia juga menohok sentimental orang barat lewat foto-fotonya, tentang dunia Islam secara nyata.

Semoga peristirahatan Haji “Omar” Tom Abercrombie yang telah wafat pada 3 April 2006 dari dunia membawa perubahan yang lebih baik demi perdamaian.  

[republika: bagian 1; bagian 2]

*)http://osolihin.wordpress.com/2012/09/07/tom-abercrombie-fotografer-mualaf-kebanggaan-national-geographic/
Lengkapnya Klik DISINI

9 Kesesatan Syi’ah Imamiyah Menurut Syaikh Al Qardhawi

9 Kesesatan Syi’ah Imamiyah Menurut Syaikh Al Qardhawi 
DR Yusuf Al Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah, menjelaskan 9 perbedaan tajam antara Ahlus Sunnah yang moderat dengan Syi’ah Imamiyah Itsna Asy’ariah/12 Imam. Berikut ini fatwa beliau:

1. Sikap Syi’ah terhadap Al Qur`an.
Sikap mereka terhadap Al Qur`an seperti yang telah saya jelaskan berulang-ulang kali bahwa mereka tetap percaya dengan Al Qur`an yang kita hafal. Mereka berkeyakinan bahwa Al Qur`an adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mushaf yang dicetak di Iran dengan mushaf yang dicetak di Mekah, Madinah dan Kairo adalah sama. Al Qur`an ini dihafal oleh anak-anak Iran di sekolah-sekolah agama (madrasah/pesantren) di sana. Para ulama Iran juga mengutip dalil-dalil Al Qur`an di dalam masalah pokok-pokok dan furu di dalam ajaran Syi’ah yang telah ditafsirkan oleh para ulama mereka di dalam kitab-kitabnya. Namun masih tetap ada di antara mereka yang berkata, “Sesungguhnya Al Qur`an ini tidak lengkap. Karena ada beberapa surat dan ayat yang dihilangkan dan akan dibawa oleh Al Mahdi pada saat dia muncul dari persembunyiannya.”

Mungkin saja sebagian besar ulama mereka tidak mempercayai hal ini. Sayangnya mereka tidak mengkafirkan orang yang telah mengatakan hal di atas. Inilah sikap yang sangat berbeda dengan sikap Ahlu Sunnah, yaitu barangsiapa yang meyakini telah terjadi penambahan dan pengurangan terhadap Al Qur`an, maka dengan tidak ragu lagi, kami akan cap dia sebagai orang kafir.

Padahal keyakinan seperti ini terdapat di dalam kitab-kitab rujukan mereka, seperti Al Kaafiy yang sebanding dengan kitab Shahih Al Bukhari bagi Ahlu Sunnah. Kitab ini telah dicetak dan diterjemahkan laludidistribusikan ke seluruh dunia tanpa ada penjelasan apa-apa di dalamnya. Ada pepatah di masyarakat, “Orang yang diam terhadap kebatilan, sama dengan orang yang membicarakannya.”

2. Sikap Syi’ah terhadap As Sunnah          
Definisi As Sunnah menurut Ahlu Sunnah adalah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah dimaksum oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Dia perintahkan umat Islam untuk menaati beliau di samping taat kepada-Nya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk,” (QS An Nur [24]: 54). dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat,”(QS An Nur [24]: 56). Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),”(QS An Nisa [04]: 59). “Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir,” (QS Ali Imran [03]: 32). “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka,” (QS An Nisa [04]: 80). “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An Najm [53]: 3-4) dan ayat-ayat yang lainnya.

Akan tetapi batasan As Sunnah menurut Syi’ah adalah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para imam mereka yang maksum. Maksudnya,sunnah mencakup bukan hanya sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan jugasunnah kedua belas imam mereka. Imam mereka yang 12 orang tersebut wajib ditaati sebagaimana taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya yang dikuatkan dengan wahyu. Mereka telah menambahkan perintah Al Qur`an untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya yaitu agar taat kepada makhluk yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri tidak memerintahkannya. Lebih dari itu, kita mengkritik Syi’ah karena telah meriwayatkan sunnah dari orang-orang yang tidak tsiqah (terpercaya) karena tidak memenuhi unsur keadilan dan kesempurnaan hafalan.

Oleh karena itu, kitab-kitab rujukan Ahlu Sunnah tidak diterima oleh mereka. Mereka tidak mau menerima kitab Shahih BukhariMuslimdan Kutub Sittah lainnya, tidak mau menerima kitab Al Muwatha,Musnad Ahmad dan kitab-kitab yang lainnya.

3. Sikap Syi’ah terhadap Para Sahabat
Pandangan negatif mereka terhadap para sahabat merupakan pokok dan dasar ajaran Syi’ah. Sikap mereka itu adalah turunan dari pokok ajaran mereka yang meyakini bahwa, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berwasiat jika beliau wafat, maka Ali bin Abi Thalib adalah pengganti beliau. Akan tetapi para sahabat menyembunyikan wasiat ini dan mereka merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan. Para sahabat telah berkhianat terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjadi wasilah mereka mendapatkan petunjuk dan mereka hidup di zaman beliau untuk menolongnya walaupun dengan nyawa dan segala yang mereka miliki.

Yang mengherankan, apakah mungkin para sahabat bersekongkol untuk melakukan hal ini, sementara Ali Radhiyallahu ‘Anh –sang pemberani- hanya bisa diam saja tidak berani mengumumkan haknya ini. Justru Ali malah ikut membaiat Abu Bakar, Umar dan kemudian Utsman. Ali tidak berkata kepada salah seorang dari mereka itu, ”Sesungguhnya aku mempunyai wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Akan tetapi, mengapa kalian bersikap seolah-olah tidak tahu? Mengapa kalian hanya bermusyawarah dengan enam orang saja dan kalian menyibukkan diri kalian sendiri? Siapakah orangnya yang harus memilih sedangkan umat Islam telah menetapkan hal ini dengan wasiat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam?” Mengapa Ali tidak mau menjelaskan hal ini? Kemudian, jika memang Al Hasan bin Ali benar-benar telah tercatat sebagai khalifah setelah Ali karena ada wasiat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, tapi mengapa justru Al Hasan mengalah dan memberikan jabatan khalifah ini kepada Mu’awiyah? Mengapa Al Hasan melakukan hal ini, padahal ini merupakan perintah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Dan mengapa justru Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam haditsnya (hadits ramalan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam) memuji sikap Al Hasan ini?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab sama sekali oleh mereka.

Inilah tuduhan palsu mereka terhadap para sahabat yang tidak terbukti. Keterangan mereka ini sangat bertentangan dengan keterangan yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebutkan di dalam beberapa surat Al Qur`an. Seperti di akhir surat Al Anfal, surat At Taubah, surat Al Fath di pertengahan di akhirnya, surat Al Hasyr dan surat-surat lainnya.

Demikian pula As Sunnah telah memuji para sahabat baik secara umum maupun secara khusus. Juga zaman mereka itu dianggap sebagai sebaik-baik zaman setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Juga apa yang dicatat oleh sejarah tentang mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah menghafal Al Qur`an dan dari mereka lah umat menukilnya. Mereka juga adalah orang-orang yang telah menukil As Sunnah dan menyampaikan apa yang mereka nukil dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam baik perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau kepada umat ini.

Mereka juga adalah orang-orang yang telah melakukan futuh (pembebasan negeri lain dengan damai) dan membimbing umat ini menuju tauhid Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan risalah Islam. Mereka juga telah mempersembahkan kepada bangsa-bangsa yang dibebaskannya contoh-contoh teladan Qur’ani yang dijadikan sebagai petunjuk.

4.Imamah Ali dan Keturunannya yang Berjumlah 12 Imam Adalah  Pokok Ajaran Syi’ah. Barangsiapa yang Menolak, maka Dia Dicap Kafir.
Di antara masalah akidah Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah yang bertentangan dengan Ahlu Sunnah adalah, keyakinan Syi’ah bahwa kepemimpinan Ali dan keturunannya dari garis Husein merupakan pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, beriman kepada para malaikat-Nya, beriman kepada kitab-kitab-Nya, beriman kepada para rasul-Nya dan beriman kepada hari akhir. Tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala iman seorang muslim, jika dia tidak beriman bahwa Ali adalah khalifah yang ditunjuk oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Demikian juga halnya dengan 11 imam keturunan Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang berani menolak hal ini atau meragukannya, maka dia adalah kafir yang akan kekal di neraka. Seperti inilah riwayat-riwayat yang tercantum di dalam Al Kaafiy dan kitab-kitab lainnya yang mengupas masalah akidah mereka.

Atas dasar inilah, sebagian besar kaum Syi’ah mengkafirkan Ahlu Sunnah secara umum. Hal ini dikarenakan akidah Ahlu Sunnah berbeda dengan akidah mereka (Syi’ah). Bahkan Ahlu Sunnah tidak mengakui akidah seperti ini dan menganggap bahwa akidah ini adalah batil dan dusta atas nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya.

Bahkan Syi’ah juga mengkafirkan para sahabat yang tidak mengakui imamah Ali Radhiyallahu ‘Anh. Mereka juga mengkafirkan tiga orang khulafa rasyidin sebelum Ali yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman dan para sahabat lain yang mendukung ketiga orang khalifah ini. Kita ketahui bahwa semua para sahabat telah meridhai tiga khulafa rasyidin, termasuk Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu Ali lah orang terakhir membaiat Abu Bakar. Kemudian Ali berkata, ”Sesungguhnya kami tidak mengingkari keutamaan dan kedudukan Anda wahai Abu Bakar. Akan tetapi kami dalam hal ini mempunyai hak karena kami adalah kerabat (keluarga) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” Akan tetapi Ali tidak menyebutkan bahwa diamempunyai nash wasiat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Sedangkan kami Ahlu Sunnah menganggap bahwa masalah imamah dan yang berkaitan dengannya termasuk ke dalam furu’ dan bukan termasuk pokok-pokok akidah Islam. Masalah ini lebih baik dikaji di dalam kitab-kitab fiqih dan muamalah dan bukan dikaji di dalam kitab-kitab akidah dan pokok-pokok agama. Walaupun dengan sangat terpaksa para ulama Ahlu Sunnah membicarakan masalah ini di dalam kitab-kitab akidah untuk membantah seluruh ajaran Syi’ah di dalam masalah ini.

Syaikh Muhammad ‘Arfah, seorang anggota Lembaga Ulama Senior Al Azhar pada zamannya, telah menukil dari kitab-kitab akidah milik Syi’ah Imammiyah Itsna ’Asyariyyah sebagai penguat apa yang kami ucapkan tentang mereka. Beliau berkata,

”Jika kita mau mengkaji kitab-kitab akidah milik orang-orang Syi’ah, maka kita akan menemukan adanya kesesuaian atas riwayat-riwayat yang mereka sampaikan. Kita pun bisa langsung menukil ajaran mereka yang kita anggap sebagai ajaran yang sangat berbahaya yaitu masalah imamah, ajaran mengkafirkan para sahabat dan tiga orang khulafa rasyidin. Mereka terus mengkafirkan kaum muslimin sejak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat sampai hari ini. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak pernah mengakui imamah Ali dan 12 imam mereka. Hal ini seperti yang kami kutip dari penghulu ahli hadits Abi Ja’far Ash-Shaduq Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih Al Qummi yang meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah yang merupakan ahli hadits kedua dari tiga ahli hadits (Syi’ah) yang juga dia itu adalah pengarang kitab yang berjudul, “Man La Yahdhuruh Al Faqih”, salah satu kitab dari empat kitab rujukan Syi’ah di dalam masalah pokok-pokok ajaran mereka. Dia berkata, ”Kami berkeyakinan pada orang-orang yang menolak imamah Ali bin Abi Thalib dan seluruh imam setelah beliau adalah seperti orang-orang yang menolak nubuwah (kenabian) para nabi. Kami juga berkeyakinan bahwa orang-orang yang mengakui imamah Ali dan menolak satu dari imam setelah Ali adalah seperti orang-orang yang mengakui/beriman kepada para nabi akan tetapi mereka menolak Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”Dia juga berkata di dalam “Risalat Al I’tiqadat”, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Barangsiapa yang menolak imamah Ali setelah aku (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam), artinya dia telah menolak kenabianku dan barangsiapa yang menolak kenabianku, artinya dia telah menolak rububiyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda, ”Wahai Ali, Sesungguhnya  kelak setelah aku wafat, engkau itu akan dizhalimi. Barangsiapa yang menzhalimimu, sama dengan dia telah menzhalimi aku; barangsiapa yang bersikap adil terhadapmu, sama dengan dia telah bersikap adil terhadap aku; dan barangsiapa yang menolakmu, sama dengan menolak aku.”

Imam Shadiq AS berkata, ”Orang yang menolak imam terakhir kami, sama dengan menolak imam pertama kami.”

Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Para imam setelah aku ini ada berjumlah dua belas orang. Imam yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS, dan imam yang terakhir adalah Al Mahdi. Menaati mereka sama dengan menaati aku dan bermaksiat kepada mereka sama dengan bermaksiat kepada aku. Barangsiapa yang menolak salah seorang dari mereka, sama dengan menolak aku.” Imam Shadiq berkata, ”Barangsiapa yang meragukan tentang kekufuran musuh-musuh kami dan sikap zhalim mereka terhadap kami, maka dia dianggap telah kafir.”[1]

5. Dakwaan Wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Ali
Dakwaan adanya wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Ali menjadi khalifah setelah beliau wafat –seperti keyakinan Syi’ah- sungguh telah merampas hak kaum muslimin untuk memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Itulah wujud pengamalan terhadap perintah musyawarah yang telah dijadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai ciri khas kaum muslimin,”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” (QS Asy Syura [42]: 38).

Seolah-olah dengan adanya wasiat itu, umat Islam terbelakang selamanya, sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala harus menentukan siapa orangnya yang berhak mengurusi dan memimpin umat Islam. Juga diharuskan orang yang memimpin umat Islam ini datang dari rumah tertentu dan dari keturunan tertentu dari keluarga rumah ini. Padahal semua manusia adalah sama. Yang jelas bahwa yang berhak memimpin umat Islam adalah orang yang diterima (diridhai) oleh umat Islam dan dia mampu untuk memikul amanah ini dan menakhodai umat ini.

Saya yakin jika Negara Islam yang dipersepsikan oleh Ahlu Sunnah adalah bentuk Negara Islam ideal yang telah digambarkan oleh Al Qur`an dan As Sunnah yang shahih. Yaitu sangat sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat dunia pada saat ini bahwa rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri, tidak menganut teori negara Teokrasi atau sebuah sistem yang mana negara dikuasai oleh pemerintahan berasaskan agama (tertentu) atas nama Pemerintahan Langit yang membelenggu leher masyarakat dan hati nurani mereka. Semua lapisan masyarakat tidak kuasa atas diri mereka sendiri kecuali harus mengatakan, ”Kami mendengar dan kami taat!”

Keyakinan Syi’ah ini dibantah oleh takdir Allah, di mana Imam yang ke-12 mereka sedang bersembunyi, seperti yang mereka yakini. Akhirnya, umat manusia ditinggalkan tanpa imam maksum lebih dari 11 abad. Bagaimana mungkin Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan membiarkan umat manusia tanpa imam yang akan membimbing mereka? Ternyata mereka (orang-orang Syi’ah) berkata, ”Kami masih mempunyai Al Qur`an dan As Sunnahuntuk membimbing kami” ketahuilah, justru kami (Ahlu Sunnah) sejak dahulu sudah mengatakan hal ini.

6. Superioritas Kelompok Tertentu atas Seluruh Umat Manusia 
Keyakinan orang-orang Syi’ah dibangun atas dasar rasa superioritas (merasa paling lebih) dari seluruh makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka merasa mempunyai karunia yang sangat besar jika dilihat dari penciptaannya. Mereka ini berhak untuk mengatur orang lain walaupun mereka tidak memilihnya. Hal ini dikarenakan telah menjadi keputusan langit.

Pemikiran seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam secara umum. Hal ini disebabkan seluruh manusia adalah sama seperti deretan sisir. Hanya ada satu Rabb bagi seluruh umat manusia dan memiliki nenek moyang yang sama yaitu Adam ‘Alaihis Salam. Mereka semua diciptakan dari bahan yang sama, yaitu sperma. Oleh karena itu, tidak ada rasa superioritas seorang manusia atas manusia yang lain kecuali dengan taqwanya. Hal ini seperti yang telah dijelaskan di dalam Al Qur`an, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti,” (QS Al Hujurat [49]: 13).

Sesungguhnya manusia itu diutamakan atas yang lainnya hanya karena amal perbuatan, dan bukan karena faktor keturunan. Sebab siapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepat langkahnya meraih ridha-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, ”Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya,” (QS Al Mu`minun [23]: 101). Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan bahwa yang akan menghukumi umat manusia di hari Kiamat adalah Al Mizan yang tidak akan menzhalimi seorang pun. Manusia lah yang memilih para pemimpin dalam bingkai musyawarah. Manusia berbaiat kepada para pemimpin dengan syarat jangan melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hak-hak manusia.

Hanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saja satu-satunya orang yang dipilih oleh wahyu, ”Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya,” (QS Al An’am [06]: 124). Selain beliau, hanya manusia biasa dan tidak dipilih oleh wahyu.

Kemudian kenyataan sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang mengaku berhak menduduki sebuah jabatan pemerintahan atas dasar nash (Al Qur`an/As Sunnah), ternyata mereka itu tidak menduduki jabatan apa-apa. Justru mereka hidup seperti manusia pada umumnya (rakyat biasa), mendapatkan persamaan di dalam hukum. Kecuali Ali bin Abi Thalib yang dibaiat oleh kaum muslimin menjadi khalifah. Karena jika dilihat dari sisi keilmuan, beberapa imam ‘maksum’ keturunan Ali tidak dikenal sebagai orang yang unggul kecerdasannya dan layak menjadi imam. Namun ada sebagian dari keturunan Ali termasuk ke dalam tokoh besar di bidang fiqih, seperti Muhammad Al Baqir dan Ja’far Ash-Shadiqseperti imam-imam fiqih lainnya.

7.  Penyebaran Bid’ah di Kalangan Syi’ah
Di antara yang harus diperhatikan dari Syi’ah yaitu terjadinya penyebaran bid’ah yang mengandung kemusyrikan di kalangan para pengikut Syi’ah. Mereka menyembah kuburan dan situs-situs para imam dan syaikh mereka. Mereka berani bersujud ke kuburan, meminta pertolongan kepada ahli kubur dan berdoa meminta kebaikan untuk para peziarahnya dan supaya terbebas dari segala macam marabahaya. Menurut mereka bahwa para ahli kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat dan bahaya, bisa membuat miskin dan kaya seseorang dan bisa membuat seseorang senang maupun sengsara.

Saya (Syaikh Yusuf Al Qardhawi) pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana para peziarah kuburan Imam Ridha bersujud sambil merangkak ke arah kuburan beliau dari jarak sepuluh meteran. Tentu hal ini bisa terjadi dikarenakan kerelaan dan anjuran dari para ulama Syi’ah.

Hal ini berbeda dengan perilaku orang-orang awam Ahlu Sunnah pada saat mereka melakukan ziarah ke kuburan para wali dan Ahlul Bait yang kedapatan berperilaku menyimpang dan bid’ah. Akan tetapi, perilaku ini ditolak keras oleh para ulama Ahlu Sunnah. Inilah perbedaan yang mendasar antara kami (para ulama Ahlu Sunnah) dengan mereka (para ulama Syi’ah). Yaitu para ulama Ahlu Sunnah mengecam perilaku munkar yang dilakukan oleh orang-orang awam. Bahkan ada sebagian para ulama Ahlu Sunnah yang mengafirkan perilaku orang-orang awam ini. Akan tetapi perilaku munkar dan syirik yang dilakukan oleh orang-orang awam Syi’ah adalah diridhai dan mendapat dukungan dari para ulama mereka.

8. Syi’ah Melakukan Distorsi Sejarah     
Sesungguhnya Syi’ah telah menjelek-jelekkan para sahabat, tabiin, dan para pengikut mereka. Juga mereka berani merubah alur sejarah umat Islam sejak zaman yang paling baik (zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya dan generasi setelah ini). Yaitu zaman terjadinyafutuh (pembebasan negeri dengan cara damai) dan kemenangan gilang gemilang serta berbondong-bondongnya umat manusia masuk Islam. Juga terbangunnya kebudayaan yang mengacu kepada ilmu pengetahuan, iman dan akhlaq juga umat Islam ini mempunyai sejarah yang sangat gemilang. Sekarang umat Islam mencoba untuk bangkit kembali dengan cara berkaca kepada sejarahnya, menyambungkan masa sekarang dengan zaman dahulu. Menjadikan kemuliaan para pendahulu umat Islam sebagai figur  untuk mendorong generasi muda kini untuk maju dan jaya.

Sedangkan sejarah orang-orang Syi’ah dipenuhi dengan kegelapan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis sebuah buku berjudul, “Tarikhuna Al Muftara ‘Alayhi” -Sejarah Kita yang Diselewengkan-. Buku ini mengupas sejarah yang benar dan membantah seluruh tuduhan busuk orang-orang Syi’ah. Buku saya ini membuat orang-orang Syi’ah gerah. Kemudian salah seorang Syi’ah menulis sebuah buku membantah buku saya ini. Dia berkata, ”Yusuf Al Qardhawi ini Wakil Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau Wakil Bani Umayyah?”[2]

9. Ajaran Taqiyyah
Di antara ajaran Syi’ah yang menyangkut akhlaq adalah menjadikan Taqiyyah sebagai dasar dan pokok ajaran di dalam berinteraksi dengan orang lain. Mereka selalu melakukan Taqiyyah, yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang ada di dalam hati. Mereka itu mempunyai dua wajah. Wajah yang pertama dihadapkan ke sekelompok orang dan wajah yang lainnya dihadapkan ke kelompok yang satunya lagi. Mereka juga mempunyai dua lidah.

Mereka berdalih dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ”Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka,” (QS Ali Imran [03]: 28). Akan tetapi, dengan sangat jelas ayat menerangkan bahwa dibolehkannya Taqiyyah adalah pada saat darurat yang memaksa seorang muslim harus melakukan hal ini (Taqiyyah) karena takut dibunuh atau ada bahaya besar yang mengancamnya. Keadaan seperti ini masuk ke dalam pengecualian, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ”Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman,” (QS An Nahl [16]: 106).

Pengecualian ini tidak bisa dijadikan sebagai acuan di dalam bermuamalah. Hal ini (Taqiyyah) boleh dilakukan pada saat darurat, yang mana keadaan darurat bisa menghalalkan sesuatu yang terlarang. Akan tetapi tetap harus dihitung secara cermat. Untuk orang lain yang tidak terpaksa, tidak boleh melakukan hal ini. Karena sesuatu yang terjadi atas dasar pengecualian tidak bisa dikiaskan.

Akan tetapi Syi’ah Imamiyah menjadikan Taqiyyah ini sebagai dasar di dalam muamalah mereka karena para imam mereka membolehkan hal tersebut. Dari Ja’far Ash Shadiq bahwasanya dia telah berkata ”Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku.” Ibnu Taimiyyah berkata mengomentari ucapan ini, ”Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyucikan Ahlul Bait dari hal ini dan mereka tidak memerlukan Taqiyyah. Karena mereka adalah orang-orang yang paling jujur dan paling beriman. Oleh karena itu, agama mereka adalah Taqwa dan bukan Taqiyyah.”[3]

__________________________________
[1] Padahal semua ini adalah hadits-hadits palsu yang dibuat oleh mereka sendiri.
[2] Buku ini ditulis oleh seorang Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim An Nafis.
[3] Lihat kitab Al Muntaqa min Minhajil I’tidal, karya Imam Adz Dzahabi hal. 68.


Rep/Red: Shabra Syatila
Sumber: Fatawa Mu'ashirah 
*)http://fimadani.com/9-kesesatan-syiah-imamiyah-menurut-syaikh-al-qardhawi/
5
Lengkapnya Klik DISINI

Bermimpilah!

Memangnya kenapa sih kok disuruh bermimpi? Bukankah mimpi itu kembangnya tidur? Bukankah kita harus realistis? Atau istilah Arab-nya waqi’iyyin, kenapa kok malah disuruh bermimpi? Bukankah mimpi itu ahlam (bentuk jama’ dari hulm, yang artinya mimpi di siang bolong)? Dan bukankah mimpi itu terjadi karena kebanyakan tidur? Tentunya yang saya maksud dengan mimpi itu bukan sekedar sesuatu yang kita lihat karena kebanyakan tidur. Bukan pula mimpi yang terjadi karena terbawa-bawa oleh nafsu syahwat menjelang tidur. Bukan pula karena kita dikejar-kejar oleh suatu atau berbagai persoalan duniawi, karenanya kita melihatnya di dalam mimpi.

Akan tetapi, yang saya maksud dengan mimpi di sini adalah suatu gagasan besar, cita-cita agung, angan-angan mulia yang luhur, yang karena besarnya gagasan itu, atau karena agungnya cita-cita itu, atau karena luhurnya angan-angan itu, lalu banyak orang-orang yang tidak berilmu, atau berilmu, tapi ilmunya cethek alias dangkal, atau oleh orang-orang yang obsesinya rendah dan murah, kita dituduh sebagai kaum utopis, kaum pemimpi, lebih parah lagi kita dituduh sebagai pemimpi di siang bolong, atau istilah Al Qur’an-nya Adh-ghatsu ahlaam (hidupnya dibuai oleh mimpi-mimpi, QS Yusuf [12]: 44, Al Anbiya’ [21]: 5).

Dalam suatu pertemuan, ada seorang syekh mengatakan: “La budda lil qaa-idi an yakuuna lahu ahlam, wa illa la yashluh an yakuuna qaa-idan”. Maksudnya: Seorang pemimpin harus mempunyai banyak mimpi, jika tidak, dia tidak layak menjadi pemimpin. Mendengar pernyataan seperti itu, saya terperanjat dan kaget, lhoo kok begitu? Akan tetapi, sebelum saya mengingkari pernyataannya itu, saya mencoba mereview apa-apa yang pernah saya ketahui tentang mimpi, ternyata, banyak juga dalil atau argumentasi yang bisa saya kemukakan untuk membenarkan pernyataan syekh tadi.

Pertama: Nabi Yusuf as pada waktu kecil telah bermimpi melihat sebelas bintang, satu matahari dan satu bulan bersujud kepadanya, dan ternyata mimpi itu kemudian menjadi kenyataan.(QS Yusuf [12]: 100).

Kedua: Nabi Yusuf as membuat strategi, mengorganisir dan menjalankan program penyelamatan negeri Mesir dan sekitarnya dari bahaya kelaparan juga berangkat dari mimpi sang raja yang dia ta’wil-kan (sesuai dengan ilmu yang Allah swt berikan kepadanya) menjadi “sebuah manajemen strategis” yang sangat luar biasa.

Ketiga: mukaddimah dari turunnya wahyu kepada nabi Muhammad saw adalah ar-ru’yah ash-shadiqah (mimpi yang benar), yang menurut riwayat ummul mukminin ‘Aisyah ra (sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari): “beliau tidak melihat satu mimpipun kecuali seperti merekahnya fajar di pagi hari”.

Keempat: Salah seorang ulama’, pemikir, da’i dan mujaddid Islam yang bernama Hasan Al Banna, selalu mengingatkan murid-muridnya akan adanya satu kaidah sosiologi yang mengatakan bahwa: haqaa-iqul yaumi ahlaamul amsi, wa ahlaamul yaumi haqaa-iqul ghadi (kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari).

Kaidah ini terus menerus dia doktrinkan kepada murid-muridnya, tentunya dengan berbagai argumentasi qur’an dan sunnah yang dia tetapkan sebagai rujukan utama gerakannya, sehingga, gerakan yang dia bangun itupun –menurut sumber majalah Al Mujtama’- sekarang telah tersebar ke lebih dari tujuh puluh negara di dunia, dimana gerakan seperti yang dia bangun itu, pada saat itu banyak yang menilainya sebagai gerakan kaum utopis, gerakan untuk merubah sesuatu yang hil dan mustahal, namun sedikit demi sedikit, hal-hal yang tadinya dianggap mimpi di siang bolong itupun berubah menjadi kenyataan.

Salah satu argumentasi yang dikemukakan oleh Hasan Al Banna adalah kisah pembebasan Bani Israil dari keterbudakan rezim Fir’aun di Mesir. Bagaimana suatu bangsa yang sudah terbudak sedemikian rupa, pada akhirnya mampu melepaskan dirinya dari keterbudakan yang begitu dahsyat.

Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah …

Dunia sekarang telah dipenuhi oleh berbagai ketidak adilan, kezhaliman, kerusakan dan pertikaian. Dalam skala lokal saja, tanda-tanda semakin menjauhnya agenda reformasi yang pada awalnya diusung oleh para mahasiswa itu, bukannya semakin mendekat kepada kenyataan, justru bayang-bayang semakin menjauhnya cita-cita itu senantiasa tampak di depan mata.

Namun demikian, kita tidak boleh berputus asa, kita harus senantiasa optimis, bahwa malam tidak akan selamanya malam, ia pasti akan berganti dengan merekahnya fajar, bukan fajar kadzib (fajar dusta, fajar yang setelah terang benderang gelap lagi), tapi fajar shadiq, fajar yang benar, fajar yang berlanjut dengan munculnya surya, munculnya mentari yang menyinari berbagai permukaan bumi, dan secara perlahan mengusir kegelapan malam yang tadinya begitu menyelimuti. Kita harus tetap tegar, tabah dan tsabat dalam mengusung cita-cita besar kita, cita-cita liyuzh-hirahu ‘alad-diini kullihi (QS At-Taubah [9]: 33, Al Fath [48]: 28, dan Ash-Shaff [61]: 9), cita-cita hatta la takuuna fitnatun wa yakuunad-diinu (kulluhu) lillah (QS Al Baqarah [2]: 193, Al Anfal [8]: 39), dan cita-cita khaira ummatin ukhrijat linnaas (QS Ali Imran [3]: 110).

Memang, banyak kalangan menilai bahwa cita-cita seperti itu hanyalah mimpi belaka, namun, berbagai argumentasi di atas, kiranya sanggup untuk membuat kita tidak tertipu oleh penilaian banyak kalangan itu, anggaplah hal itu hanyalah sebuah laumata laa-im (celaan orang yang mencela), yang harus kita sikapi dengan la yakhafuuna (tidak takut), sebagaimana disebutkan dalam QS Al Maidah [5]: 54, kita harus tetap tsabat agar kita menjadi representasi dari fasaufa ya’tillahu biqaumin, representasi dari qaum yang disebutkan dalam ayat tersebut.

Dalam rangka merealisasikan mimpi kita yang besar itu, kita harus melakukan langkah-langkah binaa-ur rijaal (pembinaan tokoh-tokoh masa depan), sebab hanya dengan langkah seperti inilah, setapak demi setapak mimpi itu semakin dekat kepada kenyataan. Sebagai penutup dari taujih ini, marilah kita simak kisah tentang dialog antara Umar bin Al Khaththab ra dengan beberapa orang di zamannya. Umar bin Al Khaththab berkata: “Berangan-anganlah!”.

Maka salah seorang diantara yang hadir berkata: “Saya berangan-angan kalau saja saya mempunyai banyak uang (dinar dan dirham), lalu saya belanjakan untuk memerdekakan budak dalam rangka meraih ridha Allah”. Seorang lainnya menyahut: “Kalau saya, berangan-angan memiliki banyak harta, lalu saya belanjakan fi sabilillah”. Yang lainnya lagi menyahut: “Kalau saya, mengangankan mempunyai kekuatan tubuh yang prima, lalu saya abdikan diri saya untuk memberi minum air zamzam kepada jama’ah haji satu persatu”.Setelah Umar bin Al Khaththab mendengarkan mereka, iapun berkata: “Kalau saya, berangan-angan kalau saja di dalam rumah ini ada Rijaal (tokoh) seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Umair bin Sa’ad dan semacamnya”.

Dari dialog tentang mimpi ini, kita dapat mengetahui betapa urgen dan pentingnya membina para pemuda itu. Semoga Allah swt memberikan kekuatan kepada kita untuk mampu mewujudkan mimpi indah kita, amin.


Lengkapnya Klik DISINI

Si Pintar Dan Si Bodoh, Pilih Mana?

Dengan kepintarannya, si pintar bisa belajar dari kesalahan dan kebodohan yang dilakukan si bodoh. Sebab si pintar itu orang yang gemar belajar, tak peduli sumbernya, yang dipedulikan hanya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
“Undzur maa qoola, wa laa tandzur man qoola...” Perhatikan apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Itulah prinsip mendasar cara belajar si pintar.

Si pintar bisa serta-merta menangkap makna dari seluruh yang ada di dunia, benda-benda, bumi, langit, batu, air, udara, alam sekitar, peristiwa, kejadian, berita, perilaku binatang, manusia, bahkan dari si iblis dengan kesombongan dan kebodohannya.

Si pintar hanya punya kaidah, “Hikmah adalah khazanah yang tersembunyi bagi orang mukmin, maka di manapun engkau temukan dia, ambillah, karena itu hakmu...”
Si pintar selalu sadar, bila ada sebuah pesan kebaikan, ia mengambilnya, dan bila itu suatu keburukan, ia mencampakkannya, habis perkara, tak peduli apakah si penyampai pesan itu baik atau buruk, sudah mempraktekkannya atau hanya menyampaikan semata.

Si pintar selalu mendapat kebaikan di setiap hal dengan kepintarannya. Hingga akhirnya si pintar selalu memperoleh keuntungan dalam setiap keadaan.

Sedang si bodoh, dengan kebodohannya, jangankan belajar dari kepintaran si pintar, sedang dari kebodohannya sendiripun dia gagal untuk mengambil pelajaran berharga. Terlebih parah si bodoh yang merasa telah pintar, orang bilang sok pintar, ia selalu gagal untuk belajar, jangankan pada dunia luar, sedang dari dirinya sendiripun ia belum tentu sadar.

Si bodoh melihat peristiwa bukan pada haknya. Ketika orang berpesan, ia akan mencari celah dan kesalahan lafazhnya. Ketika lafazh sudah benar ia akan menyoal dalil dan hujjahnya. Ketika dalil sudah lengkap dia akan menggugat keshohihan dan validitasnya.

Bila semua sudah sempurna, ia masih akan bertanya, "Sudahkah Anda sendiri mengamalkannya? Amalkan saja untuk diri Anda, baru kemudian Anda menyampaikan pada saya."

Bagi si bodoh pesan dan berita selalu salah di matanya, yang benar hanya yang ada dalam sudut pandangnya. Maka sibodoh senantiasa memicu konflik dan permusuhan, merusak suasana persahabatan dan persaudaraan, menghilangkan isi dan substansi makna dari sebuah pesan.

Si bodoh akan selalu menderita kerugian, hidup dalam kerumitan dan kegelapan, seperti katak terkurung dalam tempurung, selalu bingung dan berwajah murung.

Pintar dan bodoh sesungguhnya hanya tergantung dari penyikapan. Kita semua bisa menjadi pintar, sekaligus juga bisa menjadi bodoh. Sikap yang baik, positif, dan percaya membawa kepintaran menghampiri kita. Sedang sikap yang buruk, negatif dan curiga membawa kebodohan mengubur kita. Pilihan ada pada diri kita, mau pintar, atau bodoh, kita sendiri yang memetik hasilnya. Bagaimana??? 
 
sumber: http://antonwardoyo.blogspot.com/2012/08/si-pintar-dan-si-bodoh-pilih-mana.html
Lengkapnya Klik DISINI

Cukuplah Allah yang Menyelesaikan Urusan Kita

“Bismillahi tawakaltu ‘alallah… la haula wa la quwwata illa billah”
Ujian sering kali datang tanpa diduga, semua adalah murni kehendak dari Allah Sang Pemilik diri dan kehidupan ini. Ada kalanya hati dan diri ini siap menerima, tapi ada kalanya diri ini sampai terjatuh saat menerimanya. Apapun kondisinya, kita tidak akan mampu menolak dan menimpakan musibah itu kepada orang lain. Semua yang diberikan-Nya untuk kita adalah telah sesuai dengan takaran yang dimiliki-Nya. Seperti apapun sebenarnya kita mampu untuk menerima dan mengatasinya dengan bantuan Allah, itu yang pasti!

Tidakkah kita yang beriman saat tertimpa musibah mengucapkan innalilahi wa inna ilaihi raaji’uun, semua berasal dari-Nya dan semua akan kembali pada-Nya. Maka selayaknya kita berusaha mengembalikan hati, diri dan jiwa ini untuk mendekat kepada-Nya. Allah akan mudahkan urusan kita, selesaikan masalah kita, dan memberikan pahala serta surga yang indah bagi hamba-Nya yang sabar dan ikhlas menerima apapun bentuk karunia dari Allah.

Saat diri ini diberikan kebahagiaan, kecukupan, kelonggaran dan kenikmatan lainnya. Jangan dikira itu bukan cobaan, sebenarnya itu adalah cobaan yang besar buat kita. Karena saat posisi kita di atas, dengan segala kenikmatannya boleh jadikan kita dekat atau bahkan jauh dari Allah. Dan semakin banyak peluang kita untuk jauh dari Allah dengan alasan kesibukan dan banyak sekali alasan yang bisa dibuat. Seperti keingkaran seorang Qorun terhadap Allah.

Saat diri ini diberikan kesulitan, kesedihan, musibah, kehilangan dan cabaran yang sangat tidak menyenangkan bagi kita. Jangan pernah mengira bahwa kita adalah orang yang paling sengsara di dunia, atau orang yang telah di benci oleh Allah. Kala kita menyikapi ujian ini dengan semakin dekat dengan-Nya, semakin tunduk pada-Nya maka boleh jadi itu adalah surat Cinta Allah yang dikirimkan-Nya kepada kita.
Saudaraku, apapun yang kita alami selayaknya, kita dekat dan tetap dekat kepada Allah dengan berbagai warnanya. Meski kadang berat, susah dan perlu perjuangan. Tapi jalan itulah yang di cintai-Nya, jalan menuju kepada Allah dengan sebaik-baik kesabaran dalam keadaan senang maupun susah atau sedih. Kesabaran dalam menahan diri untuk tidak ingkar nikmat saat kebahagiaan melanda, kesabaran dalam menjalin hubungan dengan-Nya saat sedih dan dalam berduka. Mendekatlah maka Allah akan menuntun hati dan diri kita untuk menyelesaikan masalah kita, melimpahkan kesabaran kita dan Allah ganti dengan surga kala kita ikhlas melakukan semua untuk Allah.

Saat kebahagiaan ada, janganlah kita lupakan bahwa ada saudara kita yang dilanda kesusahan dan penderitaan maka berbuatlah dengan harta dan jiwa untuk membantu mereka yang kesulitan. Saat kesulitan melanda, jangalah berburuk sangka kepada Allah. Karena semua yang terjadi pada kita adalah telah sesuai dengan kemampuan kita. Dan apapun keadaan kita mari bersama-sama kita introspeksi diri.
Boleh jadi kebahagiaan kita saat ini adalah dari doa saudara, orang tua dan kerabat kita, maka bahagiakan saudara kita yang masih ‘belum bahagia’. Dan saat kesusahan melanda boleh jadi ada kesalah kita yang telah lalu dan kita belum perbaikinya. Maka berusaha perbaiki hubungan kita dengan Allah dan juga dengan sesama. Karena keadaan sekitar kita adalah cerminan dari hubungan kita dengan Allah. Saat kita baik hubungan kita dengan Allah maka Allah juga akan memperbaiki hubungan kita dengan Allah dan dengan sesama.
Kala kita telah berusaha sekuat tenaga, dan doa yang tak pernah putus kepada Allah maka tawakal kepada Allah adalah kewajiban kita, maka Allah akan tunjukkan jalan dan memberikan kita kemampuan untuk menyelesaikannya. Jangan pernah lupa untuk meniatkan semua karena Allah, agar hati dan diri kita selalu terjaga dalam dekapan-Nya. Tiada kekuatan kita untuk menyelesaikannya, hanya Allah saja yang mampu menyelesaikan setiap masalah kita.

Ada kisah seorang sahabiyah yang terkena penyakit epilepsi, dan dia menolak untuk di doakan sembuh oleh Rasulullah saw. saat tahu imbalan dari setiap kesabaran, ketabahan dan keikhlasan kita adalah surga. Dan dia hanya minta didoakan agar saat penyakit itu kambuh, saat dia tidak sadarkan diri. Allah menjagakan kehormatannya serta menutup auratnya. Subhanallah…

Saudaraku…
Semoga Allah kuatkan kita dalam keimanan, ketaqwaan dan keikhlasan dalam mendekati-Nya. Allah sangat mencintai kita lebih dari cinta yang kita miliki saudaraku. Karena nikmat-Nya untuk kita tidak pernah berhenti kita rasakan dan tidak bisa dihitung satu persatu. Allah tidak pernah ingkar dengan janji-Nya, surga telah menanti kita dengan sangat indahnya. Dan semoga Allah menjaga kesadaran kita untuk tetap ingat kepada-Nya kala sedih dan senang.

“maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kamu dustakan?”Q.S. Ar Rahman: 13
“….barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia berikan rezeki dari tempat yang tidak di sangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan cukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” Q. S. Ath Talaq: 2-3
“barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.” Q. S. Ath Talaq: 5
Mengambil pelajaran dari setiap kejadian untuk memperbaiki diri yang rapuh ini.

Choiriyah
Oleh: Choiriyah
Lengkapnya Klik DISINI

Cinta yang Tak Ternoda

Sebelum engkau menjadi kekasih halalku,
aku ingin engkau tak mendekatiku
Sebelum engkau menjadi kekasih halalku,
aku ingin engkau tak perlu berlebih memperhatikanku
Sebelum engkau menjadi kekasih halalku,
aku ingin engkau tetap menjaga jarak denganku
Sebelum engkau menjadi kekasih halalku,
aku ingin engkau tetap menjaga ‘iffahmu.

Maka aku mengajakmu untuk menundukkan pandangan, sebagaimana arahan Pencipta kita; "Katakanlah kepada orang-orang yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nuur: 30)

Aku juga tak ingin ada sentuhan sedikitpun antara kita, nabi bersabda; “Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”

Sebelum engkau menjadi kekasih halalku,
aku ingin engkau tetap menjaga batasan-batasan syari’at.
Maka aku menghindari berduaan denganmu, sebagaimana arahan nabi kita; "Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali dia (wanita tadi) ditemani mahramnya."

Adalah hakmu untuk tertarik padaku, karena itu fitrah.
Namun pintaku, jangan kau nyatakan cinta, sebelum waktu ijab qobul tiba.
Karena aku hanya ingin kepastian, bukan gombalan atau rayuan.

Ada baiknya aku berbagi cerita padamu, tentang cinta yang tak ternoda:
Al-Mubarrid menyebutkan dari Abu Kamil dari Ishaq bin Ibrahim dari Raja' bin Amr An-Nakha'i, ia berkata, "Adalah di Kufah, terdapat pemuda tampan, dia kuat beribadah dan sangat rajin. Suatu saat dia mampir berkunjung ke kampung dari Bani An-Nakha'. Dia melihat seorang wanita cantik dari mereka sehingga dia jatuh cinta dan kasmaran. Dan ternyata, si wanita cantik ini pun begitu juga padanya. Karena sudah jatuh cinta, akhirnya pemuda itu mengutus seseorang melamarnya dari ayahnya. Tetapi si ayah mengabarkan bahwa putrinya telah dojodohkan dengan sepupunya. Walau demikian, cinta keduanya tak bisa padam bahkan semakin berkobar. Si wanita akhirnya mengirim pesan lewat seseorang untuk si pemuda, bunyinya, “Aku telah tahu betapa besar cintamu kepadaku, dan betapa besar pula aku diuji dengan kamu. Bila kamu setuju, aku akan mengunjungimu atau aku akan mempermudah jalan bagimu untuk datang menemuiku di rumahku”. Dijawab oleh pemuda tadi melalui orang suruhannya, '’Aku tidak setuju dengan dua alternatif itu, "…sesungguhnya aku benar-banar takut akan azab hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai Robbku" (Yunus:15), aku takut pada api yang tidak pernah mengecil nyalanya dan tidak pernah padam kobarannya.”

Ketika disampaikan pesan tadi kepada si wanita, dia berkata, "Walau demikian, rupanya dia masih takut kepada Allah? Demi Allah, tak ada seseorang yang lebih berhak untuk bertaqwa kepada Allah dari orang lain. Semua hamba sama-sama berhak untuk itu." Kemudian dia meninggalkan urusan dunia dan menyingkirkan perbuatan-perbuatan buruknya serta mulai beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Akan tetapi, dia masih menyimpan perasaan cinta dan rindu pada sang pemuda. Tubuhnya mulai kurus dan kurus menahan rindunya, sampai akhirnya dia meninggal dunia karenanya. Dan pemuda itu seringkali berziarah ke kuburnya, Dia menangis dan mendo'akanya. Suatu waktu dia tertidur di atas kuburanya. Dia bermimpi berjumpa dengan kekasihnya dengan penampilan yang sangat baik. Dalam mimpi dia sempat bertanya, "Bagaimana keadaanmu? Dan apa yang kau dapatkan setelah meninggal?"

Dia menjawab, "Sebaik-baik cinta wahai orang yang bertanya, adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat mengiring menuju kebaikan."
Pemuda itu bertanya, "Jika demikian, kemanakah kau menuju?" Dia jawab, "Aku sekarang menuju pada kenikmatan dan kehidupan yang tak berakhir. Di Surga kekekalan yang dapat kumiliki dan tidak akan pernah rusak."

Pemuda itu berkata, "Aku harap kau selalu ingat padaku di sana, sebab aku di sini juga tidak melupakanmu." Dia jawab, "Demi Allah, aku juga tidak melupakanmu. Dan aku meminta kepada Tuhanku dan Tuhanmu (Allah SWT) agar kita nanti bisa dikumpulkan. Maka, bantulah aku dalam hal ini dengan kesungguhanmu dalam ibadah."

Si pemuda bertanya, "Kapan aku bisa melihatmu?" Jawab si wanita: "Tak lama lagi kau akan datang melihat kami." Tujuh hari setelah mimpi itu berlalu, si pemuda dipanggil oleh Allah menuju kehadiratNya, meninggal dunia…

Semoga Allah tidak menjadikan kita orang-orang yang melampaui batas-batas syari’atNya, aamiin.[]
 
Penulis : Oktarizal Rais
Alumni Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Solo
Mahasiswa Ma'had Aly An-Nu'aimy, Jakarta
 
 
 
sumber: http://www.bersamadakwah.com/2012/09/cinta-yang-tak-ternoda.html
Lengkapnya Klik DISINI

Wasiat Rasulullah

Rasulullah Shalallohu 'Alaihi wasallam. telah mengabadikan wasiat tentang nilai-nilai kebajikan sebagai pedoman hidup bagi umatnya dan juga bagi seluruh manusia. Salah satunya adalah wasiat yang beliau sampaikan kepada salah seorang sahabatnya yaitu Abu Dzar Al Ghifari RA. Dari Abu Dzar RA., ia berkata:

Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal:

(1) Supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka,

(2) Beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku,

(3) Beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahimku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku,

(4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah),

(5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit,

(6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan

(7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.

(HR Ahmad) Wasiat yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. tujukan untuk umat Islam secara umum. Dalam hadits ini, Nabi Saw. berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka.Karena kita sebagai umatnya, nasihat Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tertuju kepada kita semuaSemoga kita dapat menunaikan wasiat yang mulia ini

nemu di http://www.kucoba.com/2012/09/wasiat-rasulullah.html
Lengkapnya Klik DISINI

Sur’atul Istijabah (Respon Kilat Terhadap Panggilan Dakwah)

“ Wahai orang-orang yang beriman ! Penuhilah seruan Allah dan Rasul Nya, apabila dia menyeru kepadamu sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada Nyalah kamu akan dikumpulkan. Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya.’(Qs. Al-Anfal:24-25)
***
Seorang al-akh pernah datang kerumah. Ia bercerita kepada saya dengan gurat wajah yang tanpak gelisah. Banyak hal yang ia ceritakan di sana. Salah satu di antaranya adalah tentang dakwah dan para pelakunya. Atau yang lebih popular kita sebut dengan aktivis dakwah.
“Akhi, ana sedih melihat kondisi saat ini.” tuturnya memulai cerita.” Tatsqif sore ini kok minim sekali pesertanya ya? Kemana ikhwah yang lain?” lanjutnya dengan nada bertanya.
“Mungkin mereka belum dapat taklimat akhi. Sehingga mereka gak tahu ada tatsqif hari ini.”
“Iyya akh, mungkin begitu. Tapi apakah harus menunggu taklimat dulu baru datang ngaji?” katanya.” Tidak cukupkah dengan pengumuman yang di sampaikan oleh panitia, di setiap akhir acara, bahwa setiap dua pekan sekali ada kajian di sini. Di tempat ini. di masjid ini?” Protesnya lagi
“Ana heran saja sih. Ternyata sur’atul Istijabah aktivis dakwah hari ini, ana lihat mulai kendor. Respon mereka  dengan kegiatan-kegiatan seperti ini perlahan melemah. Seharusnya kita, yang manyebut diri aktivis dakwah, memiliki respon yang cepat dengan segala seruan-seruan dakwah. Bukan mencari-cari alasan pembenaran untuk menjustifikasi kemalasan kita.”
“Menurut antum, dimana akar permasalahan yang sebenarnya?” tanya saya menyelidiki.
“Ana gak tahu persis dimana letak persoalannya. Yang jelas menurut ana, ta’shil ilminya yang kurang. Semangat untuk menuntut ilmunya yang payah. Sehingga semangat yang dulunya berkobar dan menyala-nyala, perlahan mulai padam. Dan kini hanya tinggal kenangan. Aktivis dakwah itu harus punya iltizam yang kuat dengan ilmu akhi. Bicaranya ilmu. Tindakannya berlandaskan ilmu, semangatnya pun juga begitu. Karena dengan ilmu inilah kita bisa me ri’ayah semangat kita. Bukan dengan yang lainnya. Ini menurut ana sekali lagi yang perlahan mulai di tinggalkan. Semangat mengaji, menambah kafaah syar’I, untuk menjaga semangat yang kita miliki.”
Apa yang di katakan akh kita ini, benar juga fikirku. Semangat menuntut ilmunya yang kurang. Padahal amanah yang dipikul tidak lah pernah berkurang. Amanah akan terus bertambah, seiring dengan ekspansi dakwah yang mulai merambah ke berbagai wilayah dan tentu dengan dinamikanya yang berbeda-beda. Di butuhkan pundak-pundak kekar dan dada-dada yang di penuhi dengan ilmu dan pemahaman, agar ia tetap tegak dengan mengibarkan bendera perjuangan. Demikian, potongan diskusi saya dengan salah seorang akh sore itu, selepas pulang dari menghadiri kajian di Masjid Raya at-Taqwa mataram.
***
Apa yang dimaksud dengan sur’atul istijabah? Biarlah Asy-Syahid Sayyid Quthb rahimahullah menjelaskannya,
“ Sur’atul istijabah adalah tindakan pemenuhan fitrah yang bersih untuk memenuhi seruan da’wah yang haq dan lurus. Di sana ada kejujuran, kelapangan, kekuatan semangat, pengetahuan yang benar dan sambutan akan cetusan qalbu yang hebat atas kebenaran yang nyata.”
Tentang sur’atul Istijabah ini, imam asy-Syahid Hasan Al-banna menggambarkan,“ Dapat kugambarkan profil mujahid sejati dalam diri seseorang yang siap mengambil bekal dan memenuhi perlengkapannya. Seluruh dirinya (seluruh sudut jiwa dan hatinya) didominasi pemikiran seputar perjuangan. Ia dalam pemikiran yang selalu, perhatian yang besar dan kesiapan yang senantiasa.”
Beliau juga mengatakan,”Keimanan mujahid yang terjewantah dalam kesigapannya melaksanakan kebaikan, tugas dan kewajibannya adalah refleksi dari jiwa yang bertanggung jawab yang akan mampu menghindari penyesalan, kerugian dan penderitaan. Ia pun bersegera menuntut ihsan dan itqonul ‘amal sehingga membuahkan natijah yang kongkret.”
Bersemangat, bertanggung jawab, responsif, bersiap siaga, dan bersegera memenuhinya. Mungkin itulah yang dapat kita simpulkan dari paparan dua tokoh dakwah ini. Tokoh dakwah yang telah menjual nyawa satu-satunya kepada dakwah, di jalan dakwah dan untuk Allah Swt. Kata-katanya layak di dengar. Pendapatnya patut untuk di renungkan serta perjalan dakwahnya sungguh bertebaran hikmah untuk kita ambil pelajaran.
Jauh sebelum mereka berdua, Abu Dujana r.a telah mencatatkan dirinya sebagai Ruhul Istijabah, jiwa-jiwa yang merespon panggilan dakwah dengan segera. Jiwa-jiwa yang memenuhi panggilan Jihad, kemudian menjualnya dengan kemewahan surga. “Wahai Rasulullah, apa yang akan aku dapatkan dari jihad bersamamu? Tanyanya suatu ketika. Rasulullah menjawab ,” Syurga”. Lalu seketika ia pun merespon : “ Kalau begitu aku akan berperang sampai aku syahid dengan luka di sini.“ Kata Abu Dujana sambil menunjuk ke lehernya. Rasulullah kemudian mengapresiasi semangatnya itu dan berkata,“ Engkau akan mendapatinya, karena engkau jujur kepada Allah.”
Tak lama kemudian, berkumandanglah panggilan jihad. Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk segera berangkat ke Uhud. Dan berangkatlah abu Dujana dengan semangat yang menyala-nyala. Dengan segera ia merangsek ke dalam barisan Uhud dan mengatakan, “Sesungguhnya aku mencium wanginya syurga di balik Uhud !” Dan benar, ketika para syuhada Uhud dimakamkan, para sahabat mendapati tubuh Abu Dujana penuh dengan 70 luka pedang, dan luka panah persis seperti yang dia tunjukkan. Allahu akbar!
Respon yang luar biasa dari kisah para sahabat dalam perang Khaibar juga sudah kita pelajari. Perang yang paling lama dan melelahkan. Dipuncak kelelahan, ketika pasukan Muslim berhasil menguasai benteng Ash Sha’b bin Mu’adz, benteng yang paling kaya dengan sumber makanan dan senjata. Di sana mereka telah memasak seekor himar untuk mengisi perut mereka yang digerogoti rasa lapar. Di saat masakan telah siap disajikan, tiba-tiba turun wahyu tentang pengharaman himar. Apa yang terjadi kemudian?
Seketika kuali yang berisi harum daging himar dibalik dan tumpahlah isinya. Tak ada permohonan toleransi atau pembantahan. Nyaris diluar ketaatan kita yang didominasi logika. Mungkin jika kita menjadi meraka akan mengatakan,”Mengapa wahyu itu tidak turun sebelumnya? Tentunya tak akan membuat kecewa perut yang telah keroncongan berhari-hari itu.” Itulah ketaatan dan kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul Nya. Yang menembus batas-batas logika.
Dalam era kontemporer seperti saat ini, sur’atul istijabah itu seakan menguap. Bisa dilihat dari jumlah peminat tatsqif kader, kajian ilmiah mahasiswa, bedah buku, atau aksi turu ke jalan. Seharusnya layar HP mendadak buram ketika mendapat jawaban sms, “ afwan ana tidak bisa hadir, ada kuliah…ada urusan ke sini….ada bla…bla…bla…..
Entahlah, berbicara hajat, urusan, kepentingan, semua kita, bahkan para nabi dan para sahabat punya banyak kepentingan. Namun, Allah dan Rasul Nya lebih utama. Kiranya cukuplah kisah Ka’ab bin Malik menjadi teguran dan pelajaran untuk kita semua yang mengaku aktivis dakwah.
Lantas apa sebenarnya yang melunturkan kekuatan sur’atul istijabah itu ? Seharusnya, introspeksi jiwa menjadi kebiasaan, hingga kita dapat mengevaluasi beberapa hal :

1. Keimanan. 

 
Keimanan yang dalam sangat mempengaruhi kekuatan sur’ah. Ia akan melahirkan sensitifitas hati para jundi dakwah dalam memenuhi seruannya. Bila mana kekuatan iman itu melekat di dalam hatinya, maka seperti itu pula kekuatan responnya terhadap panggilan dakwah. Tabiat iman itu sendiri fluktuatif, suatu saat bertambah dan di saat yang lainnya bisa berkurang. Bertambahnya dengan ketaatan, berkurangnya dengan kemaksiatan. Semua tergantung dengan kondisi amaliyah kita sehari-hari. Untuk itu cara kita me ri’ayah sur’ah itu adalah dengan melakukan amaliyah dakwah yang berkesinambungan. Amaliyah yang berkesinambungan akan melahirkan keimanan yang kuat dan bertambah kuat, sehingga setiap junudud dakwah akan memilki ruhul istijabah yang kuat pula.

2. Ilmu dan Pemahaman



Pengetahuan dan pemahaman yang benar dan mendalam terhadap wahyu (Alqur’an) adalah kunci kedua setelah keimanan. Ia (ilmu dan fahm) adalah rukun pertama sebelum menghidupkan ikhlas untuk menegakkan sebuah amal. Tak ada amal tanpa keikhlasan dan tak ada keikhlasan tanpa pemahaman. Seorang da’i tidak mungkin dapat mendistribusikan nilai-nilai Islam kepada orang lain, jika ia sendiri tidak memahaminya. Selama seseorang tidak memahami prinsip yang diyakininya, ia tidak akan bisa berinteraksi dengan prinsip tersebut dan ruh yang terkandung di dalamnya.
Dua hal ini, yang Allah perintahkan kepada Rasulullah Saw. untuk selalu di panjatkan dalam doanya,”Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu dan berilah aku kefahaman.” Olehkarenanya, Beliau Saw. selalu mendorong para sahabat untuk memberikan pemahaman kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Beliau mengatakan kepada mereka : “ Berilah pemahaman pada saudaramu dalam urusan agama ini. Bacakan dan ajarkanlah Alqur’an kepadanya.” ( Hadist riwayat Ath Thabarani).
3. Tajdid An-niyyah


Ketahuilah, dalam jasad ini ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh amalan kita. Jika ia nya rusak, maka rusak pulalah seluruh amalan kita. Itulah hati. Ia harus di jaga, agar tetap sehat seperti sedianya. Di dalam hati, bersemai padanya niat. Niat yang akan menentukan, apakah amalan kita diterima ataukah sebaliknya. Niat juga sangat mempengaruhi sur’ah yang akan menggerakkan jiwa dan raga seorang da’i untuk memenuhi panggilan dakwah.
Hendaknya niat ini harus terus menerus ditajdid, untuk memastikan apakah orientasinya tetap condong kepada dakwah ataukah dunia yang fana ini? Barang siapa yang berdakwah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dakwahnya untuk Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berdakwah, karena dunia yang ingin dikuasainya atau wanita yang ingin di nikahinya, maka dakwahnya akan berbuah sesuai dengan niatnya. Ia akan mendapatkan apa yang di cari, tidak lebih dan tidak pula dikurangi.
Oleh karenanya Ibnul qoyyim al-jauziyah rahimahullah pernah berkata,”cinta akan lenyap dengan lenyapnya sebab.” Ya, kecintaan kita terhadap dakwah ini akan lenyap sesuai dengan motivasi awal kita bergabung di dalamnya. Jika orientasi kita hanya karena jabatan, atau kekuasaan, atau harta benda, atau yang lainnya, maka sebatas itulah umur cinta kita terhadap dakwah ini. Namun, jika motivasi kita hanya semata-mata karena Allah, maka ketahuilah Allah itu kekal. Allah itu abadi tak akan pernah berakhir sehingga Allah memenangkan dakwah ini atau kita syahid di jalannya. Untuk itu, tajdidunniyah adalah niscaya adanya.
4. Perbanyaklah Zikir dan Istighfar.
Barangkali kita tak menyadari, setitik noda maksiat telah mewarnai hati kita. Barangkali kita tak menyadari, ada kata-kata busuk yang keluar dari lisan kita. Atau barangkali ada sangka buruk yang terus menerus kita pelihara. Titik noda itu kemudian kian menjalar menutupi sebagian hati kita, atau bahkan menutupi seluruhnya. hingga cahayanya tak mampu lagi membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Hati kita kemudian sakit. Lalu kemudian sekarat. Lalu kemudian mati. Jika sudah demikan, masih adakah sur’atul istijabah menyertainya?
Hati yang sakit, tidaklah mungkin menjawab panggilan dakwah dengan segera. Apatah lagi bagi hati yang sudah mati. Hanya hati yang sehat wal afiatlah yang akan merespon dakwah dengan segera. Hanya hati yang hiduplah yang sanggup memikul beban dakwah di pundaknya. Sebelum ia terjangkiti penyakit yang akut dan mejadikannya benar-benar mati, maka tak ada cara lain untuk mengobatinya. Obatilah ia dengan beristighfar. Hidupkanlah ia dengan zikir. Karena hati yang berzikir adalah hati yang hidup, sebaliknya hati yang tak pernah berzikir adalah hati yang mati.
Rasulullah Saw. bersabda,”Perumpamaan hati yang berzikir kepada Allah dan yang tidak berzikir kepada Allah, ibarat hati yang hidup dan hati yang benar-benar mati.”
Aktifkan kembali hati kita dengan berzikir. Bersihkanlah hati kita dengan beristighfar. Sibukkan diri kita dengan tilawah Al-Qur’an, zikir ma’tsurat, dan amaliyah yaumiyah  lainnya,”Penuhilah seruan Allah dan Rasul Nya, apabila dia menyeru kepadamu sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada Nyalah kamu akan dikumpulkan. Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya.’ (Qs. Al-Anfal:24-25).
“ Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabbmu, dan mendapatkan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang bertaqwa.” (Q.S Ali Imron : 133)
Wallahu a’lam.
Fakir Ila Allah
(Syamsul Bahri)
Staf Humas DPD PKS Kota Mataram
 
sumber: http://www.islamedia.web.id/2012/09/suratul-istijabah-respon-kilat-terhadap.html
 
Lengkapnya Klik DISINI

Pacaran Jarak Jauh

Gambar dari Google
Sobat muda, pasti bosen deh sama kata yang jadi bahasan kali ini. ‘Pacaran’, wuaah…! Udah berkali-kali bahas ini. Tapi, ilmu itu kan nggak akan pernah habis. Mungkin kamu emang bosen. Namun, belum tentu buat teman-temanmu yang masih baru kenal, atau baru ngeh soal Islam. So, kali aja ada yang belum tahu hukum seputar pacaran ini. Iya kan?

Nyok, kita bahas tema kita kali ini tentang Pacaran Jarak Jauh.

Jauh di mata dekat di hati
Hayoo..! Bukan belek (kotoran di mata) ya dekat di mata jauh di hati. Hehe. Yup, pacaran jarak jauh atau yang biasa kita kenal long distance relationship ini sangat populer nih, di kalangan remaja.

Bro en Sis rahimakumullah, di era serba canggih dan instan ini nggak jadi alasan sejauh mana lokasi seseorang untuk berkomunikasi. Meski adanya di belahan dunia nun jauh di sana, proses komunikasi bisa tetap terjalin. Kecuali, ya mungkin kalo nggak terdeteksi radar or sinyal (*apalagi kalo udah diadakan tahlilan alias meninggal). Peluang ini akhirnya dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk tetap menjalin ‘hubungan’ meski jauh di hadapan mata.

“Cinta tak mengenal ruang dan waktu” mungkin benar adanya. Kalo kita lihat kenyataan saat ini, banyak  remaja yang pisah daerah sama pacarnya, tapi mereka tetap menjalin hubungan. Banyak juga nih, orang yang akhirnya cinlok  di dumay alias dunia maya. Awalnya di Facebook, Twitter atau di sosmed lainya, cuman sering berbalas komentar, terus beralih ke chatting, sampe video call. Bahasa yang digunakan pun, awalnya cuma bahasa nyantai biasa, lalu mulai merayap ke bahasa hati. Waduh.. mulai deh cinlok dan akhirnya pacaran. *walaupun ada yang ngeles dengan alasan, hubungannya sebagai ta’arufan. Ah, ngawur kamu!

Katanya, (kata siapa ya?) mereka yang pacaran jarak jauh itu nggak jadi hambatan lho. Sebab, boleh-boleh aja doi jauh di mata. Tapi di hati, doi paling lengket. Serodot.. gubraak! *Halah, pembenaran doang itu sih!
Tapi kalo dipikir-pikir, emang bener juga sih. Meski jarak antara mereka berpuluh-ratus kilometer, ‘ser’ nya itu pasti kerasa kalo lagi komunikasi. Ehm, berdasarkan survei juga (secara diem-diem hehehe), kata-kata yang diungkapkan lewat tulisan itu, memang terasa lebih  masuk ke hati, dibanding kata-kata yang terucap  mulut kita yang kadang-kadang suka kepleset. Jadi kalo ada komusnikasi lewat sms atau chatting itu lebih nyampe ke hati. Bener!

Meski begitu, banyak juga lho yang ketipu nih sama pacaran kayak gini. Kenalan di Fb, foto sih kece abis. Eh, pas ketemuan ‘enek abis. Wajar aja kalo akhirnya banyak yang kecewa. Sebab, peluang bohong itu leluasa banget. Kan kita nggak tahu apa yang dilakuin doi dengan kehidupan aslinya.  Akun islami pun nggak ngejamin pemiliknya bener-bener sholih/shalihah. Belum lagi predator seksual yang saat ini menjamur di dumay, diajakkin ketemuan. Lalu, dibawa ke hotel untuk diajak berzina, atau diculik dan dijual. Banyak lagi deh. Bikin ngeri banget pokoknya. Jadi, hati-hati ya.

Pernah nih ada yang tanya, “gimana kalo pacarannya cuma di hape, sms-an aja?”. ya itu juga, masuk kategori pacaran juga dong!

Bro en Sis, soal LDR ini, meski jaraknya jauh mereka kan tetep bisa komunikasi dengan kata-kata layaknya orang pacaran. Mesra-mesraan, sayang-sayangan, atau bahkan sampai ke tingkat yang lebih bahaya, dengan menggunakan kata-kata yang mengundang syahwat. Padahal, selain kita diminta jaga kehormatan dan menjaga diri dari zina, kita pun diminta untuk menjaga segala hal dari diri kita, yang dapat mengarah pada zina sesungguhnya. Termasuk hati kita. Waspadalah!

Rasulullah saw. Udah wanti-wanti nih ke kita seputar masalah ini. Sabda beliau saw.: “Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhasrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisir atau diwujudkan) oleh kelamin atau digagalkannya”. (HR Bukhari)

Karena, rasa cinta itu naluri
Naluri! Ya, itu memang kalo kita suka sama lawan jenis. Tapi, naluri ini jangan dibiarin nggak terkendali gitu, yang akhirnya jatuh ke hal yang salah. Naluri ini harus senantiasa dibimbing oleh aturan yang berasal dari Allah Swt, sebagai pencipta manusia. Dalam aturan Allah ini, sama sekali tidak dikenal yang namanya ‘pacaran’. Sebab, pacaran adalah hubungan terlarang antara laki dan perempuan yang bukan mahrom. Sebab itu ‘pintu gerbang’ menuju perzinaan. Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS: al-Isra’ [17]: 32)

Jadi, di mana pun kita, mau jarak deket, atau jarak jauh ya pacaran tetep pacaran. Kan pacaran itu salah satu aktivitas mendekati zina. Berarti diharamkan. Bagi pelakunya tentu akan mendapatkan dosa. Malah, kalo nggak tobat di akhirat nanti bakal disiksa. Siksa Allah Ta’ala itu amat begitu pedih lho.

Duh, kalo inget dosa gini, sebenarnya kita kudu sedih, sebab banyak banget di antara temen kita saat ini yang menganggap enteng azab Allah. padahal dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda:”Sesungguhnya azab yang paling ringan dari penghuni neraka pada hari kiamat ialah seseorang yang diletakkan pada kedua telapak kakinya sepotong bara api yang menyebabkan otaknya mendidih”(Mutafaq ‘alaih)

Bro en Sis pembaca, harusnya  dikasih hadis ini buat temen-temen yang masih setia pacaran. Kita udah harus bener-bener takut nih sama dosa dan balasannya di akhirat kelak. Serem ya. Jadi, kalo kita mengaku orang yang beriman, tentu kita pun nggak pikir-pikir lagi untuk  nerima seluruh aturan Allah Swt., termasuk hukum mengenai pacaran. Gimana pun prosesnya, kalo ia tertera status ‘pacaran’, ya tetap haram dilakukan. Gimana kalo nggak ada, tapi aktivitasnya mirip orang pacaran, kayak HTS (hubungan tanpa status)? Tetaplah ia terlarang dan dosa.

BTW, ada juga lho pacaran tapi pake istilah ta’arufan dan menyebutnya pacaran islami. Hadeeeuuh, ngasal bin ngawur! Kamu pikir aja lagi. Masa’ ada minyak nyampur sama air? Kecuali kalo ditambahin detergen kali ya. Butek deh jadinya. Intinya. Islam itu haq, sedang pacaran itu bathil. Yang haq nggak mungkin tercampur dengan yang bathil. Nantinya samar-samar dong? Padahal  Islam itu jelas. Mana yang haq, mana yang bathil. Nggak ada abu-abu. Pokoknya hitam dan putih, Sis.

So, kita harus mulai berani menyatakan “nggak ada namanya pacaran islami”. Sebab, meski ketemuannya jauh-jauhan. Kan, ada ajang baku tembak ‘syahwat’ antara pelakunya. Widiih, kayak bansus, eh Densus 88 aja yang doyan main tembak mati orang.

Ayo, jangan bohongin diri kamu sendiri. Meski jauh-jauhan tetep deg-degan kan? Khawatirnya lagi, meski kita saling ingetin tahajud dan beramal yang baik lainnya, kita bisa nggak ikhlas. Sebab, kita lakuinnya atas dasar doi yang ingetin, kita malu dan akhirnya rajin ibadahnya demi nyenengin pacar.

Kembali ke topik, yuk hindari segala bentuk pacaran. Mau pacaran jarak jauh, pacaran 5 langkah, pacar-pacaran, pacaran islami, HTS, jeung sajabana (baca: dan lain sebagainya). Itu semua  bentuk cabang dari pacaran. Semuanya itu diharamkan oleh Allah. Ehm, kenapa saya ngotot banget nyatain ini semua haram? Ya, karena induknyapun diharamkan, semuanya kan mendekati zina. Nampak jelas dalam al-Quran surah al-Isra’ ayat 32 di atas. Kita dilarang mendekati segala hal yang menjurus pada perzinaan.

Tetap pacaran, atau nikah?
Udah, nggak usah bingung hadapi masalah nalurimu itu. Sebab, itu kan cuman naluri. Jadi, kalo nggak terpenuhi hanya menimbulkan kere-sahan, nggak akan buat kita mati kok. Bener.

Bro en Sis, tentu Islam ngelarang pacaran bukan  berarti ngelarang manusia menuhin nalurinya. Tapi, Islam itu punya aturan tersendiri megenai hal ini. Aturan yang ‘khas’ dan tentunya sangat terjaga dari segala hal yang menjerumuskan manusia pada kehinaan. Aturan ini yaitu “pernikahan” melalui proses ta’ruf dan khitbah (pinangan).

Nah, bagi kamu yang udah mampu nikah, menikah lah. Namun, jika masih belum mampu, maka harus dengan penuh kerelaan untuk bershabar hingga saatnya tepat untuk menikah. Apalagi kalo kamu masih sekolah. Ya, fokus belajar aja dulu (dan banyak puasa, hehehe). Ok? Sabda Rasulullah saw.: “Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah menikah. Sesungguhnya perinikahan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tapi barangsiapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa karena (puasa itu) benteng (penjagaan) baginya”. (HR Bukhari)

Saya juga ngerasain kok, gimana beratnya tantangan jadi remaja itu, berat banget ya. Naluri mencintai yang Allah berikan, harus kita tahan sampai waktunya tiba dengan ikatan yang halal yaitu pernikahan. Sedang, sekarang ini kita dapati, teman-teman kita udah pada ngebonceng atau dibonceng pacarnya masing-masing. Ckckck….

Tapi, tenang Bro en Sis. Semua akan indah pada waktunya. Semua rasa sepi kita karena terasingkan, atau beratnya tantangan menahan hawa nafsu akan terbayar sudah, saat kita berdiri di hadapan Allah menyerahkan seluruh laporan ‘masa jabatan’ kita sebagai hambaNya di dunia. Atas usaha kita ini, kita pun dibayar dengan surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai karena keikhlasan kita mentaati seluruh aturanNya.

Kabar gembira dari Allah Swt. (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga, (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir)”. (QS al-Hijr [15]: 45)
Hmm, semoga keberkahan Allah selalu terlimpah untuk kamu semua yang bertakwa pada Allah. Syukuri atas segala anugerah keimanan. Tetap sabar hadapi ujian hidup. Tenang, kalo udah jodohmu pasti kamu dapatkan yang terbaik. Insya Allah [wilda fillah | wildafillah@yahoo.co.id]

sumber: http://osolihin.wordpress.com/2012/09/10/pacaran-jarak-jauh/ 

Catatan : Penambahan Foto Ilustrasi dan pengurangan beberapa kalimat di lakukan oleh Admin
Lengkapnya Klik DISINI
Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......